Maksud dari rekonstruksi KI adalah upaya membangun kembali authenticity (jati diri) KI. Upaya ini selama ini absent dilakukan. Apalagi ketika kita berada di puncak globalisasi dimana negara-negara (lemah seperti Indonesia) semakin tergantung (interdependent) dan membentuk satu kesatuan (integrated) blok negara kuat yang diwakili US. Contoh paling aktual dari adanya globalisasi adalah periode akhir 2008 yang ditandai dengan runtuhnya ekonomi (economic downturn) Amerika yang berdampak pada memburuknya ekonomi di semua negara (global financial crisis).
Globalisasi
Globalisasi pada awalnya didefinisikan sebagai lalu lintas bebas orang, barang, uang, image and ideas yang tidak mengenal batas-batas terirorial bangsa dan negara. Negara tidak lagi dominan dalam memberikan aturan atau rambu-rambu dalalm mengelola (kekayaan) negara dan (kesejahteraan) rakyat. Dalam tataran tertentu, peran negara dinegasikan. Maka globalisasi tidak lain adalah integrasi tak terhentikan pasar, bangsa-negara dan teknologi yang tidak pernah terjadi sebelumnya (Friedman 1999: 7). Contoh integrasi ketiga aspek ini adalah rekomendasi IMF, yang tidak bisa dicegah oleh Indonesia, untuk menjabut subsidi listrik, BBM dan bahkan transportasi diatas dalil penghematan budget negara. Karenanya privatisasi, termasuk juga pendidikan, harus segera dilakukan.
Apa implikasi dari semua ini? Kita mulai bertanya-tanya siapa di belakang ini semua? Dimana dana itu dikelola dan negara adidaya mana yang mengendalikannya. Amerika adalah jawabannya. Globalisasi tidak lain adalah policy jitu diluar perang yang digunakan Amerika untuk menundukkan negara-negara lain utamanya negara ketiga seperti Indonesia. Implisit dalam proses ini adalah homogenisasi (penyeragaman) segala aspek hidup mulai dari blue jeans, investmen, demokrasi, nation-state, budaya dan tidak terkecuali pendidikan. Homogenisasi ini dalam bahasa Gramsci disebut sebagai hegemony yang tidak lain adalah monopolisasi “meaning” oleh negara kuat yang melalui monopolisasi ini negara-negara lemah tidak sadar bahwa mereka dalam jebakan negara-negara Barat utamanya USA sehingga mereka tidak kuasa untuk menolak (dengan kata lain menyetujui) kehedak USA hampir dalam segala aspek kehidupan (Gramsci 1971: 244). Contoh, standarisasi pendidikan yang kita lakukan saat ini tidak lain adalah penyetujuan (penyeragaman) terhadap pola pendidikan Barat (USA).
Authenticity
Dari sinilah kita lalu berfikir dimana kita merepresentasikan KI ditengah jaya-jayanya globalisasi (the peak of globalization era)? Tidak ragu jawabannya adalah kita harus yakin dengan authenticity (jati diri) KI. Apa sih authenticity KI ini sebenarnya? Kalaupun kita mengetahui authenticity KI, apa kita yakin dengan rekonstruksi authenticity KI itu?
Coba kita mulai dengan meraba kurikulum yang ada (Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah 2008: 61) yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan KI adalah menjadi tenaga kependidikan (guru, menejer pendidikan dan supervisor pendidikan), peneliti, penulis dan pengelola pendidikan. Kompetensi sah sah saja didetailkan menjadi beberapa bagian. Yang menjadi permasalahan adalah apakah bagian-bagian itu bersinergi dan bagiaan integral dari satu kesatuan unit (jurusan) KI? Bisakah bagian-bagian itu dirumuskan menjadi satu kata atau frase yang bisa memayungi bagian-bagian elementer/partikular kompetensi itu? Contoh, kompetensi lulusan PAI adalah menjadi guru PAI. Untuk KI selama ini jawabannya sulit untuk tidak menyebut ambiguous.
Sejarah dibentuknya jurusan KI dilatarbelakangi oleh kegelisahan bahwa lulusan PAI atau Tarbiyah pada umumnya hanya diorentasikan untuk menjadi praktisi guru. Mereka kurang mendalami keilmuan ketarbiyahan sekalipun mereka secara akademis ditraining oleh institusi tarbiyah. Karena itulah dimimpikan lulusan-lulusan yang tidak hanya menjadi praktisi guru tetapi juga menguasai hasanah akademis ketarbiyahan.
Hanya saja keinginan yang mulia ini tidak bersinergi dalam tataran praksis ketika KI sudah melewati usia satu dekade. Kalau memang juga dipersiapkan menjadi guru, mengapa penyebaran mata kuliah yang ada di KI tidak membekali mahasiswa dengan persiapan menyampaikan mata pelajaran di sekolah dan madrasah. PAI menyiapkan mahasiswanya dengan tata cara mempersiapkan, menyampaikan dan evaluasi materi seperti Qur’an, Hadits, Tafsir, Fiqh/Ushul Fiqh, SKI dll ke sekolah. Sehingga sebelum mahasiswa terjun ke dunia nyata institusi pendidikan, mereka telah mendapatkan bekal yang cukup bagaimana cara mempersiapan, menyajikan dan mengevaluasi materi-materi itu kepada siswa di sekolah dan madrasah. Lulusan PAI jelas bisa menjadi guru PAI di sekolah atau guru dengan materi spesifik keislaman di madrasah. Tetapi tidak dengan KI. Di KI materi-materi tersebut tidak diajarkan. Guru lulusan KI sungguh tidak dipersiapkan dengan materi apa yang akan disajikan kelak di sekolah atau madrasah.
Satu hal nyata yang membedakan antara lulusan KI dan PAI yang secara eksplisit diuraikan dalam Buku Panduan tersebut adalah lulusan KI memiliki nilai plus karena bisa menjadi pengelola lembaga pendidikan Islam. Kompetensi pengelola pendidikan yang dijabarkan dalam rumpun materi-materi tentang pengelolaan/manajemen, administrasi dan supervisi, perencanaan, pengembangan dan evaluasi pendidikan sebagai kurikulum inti khusus utama juga diajarkan di PAI. Khusus untuk materi menejemen, KI mengajarkan 8 SKS sementara PAI 4 SKS (Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah 2008: 24 dan 17). Artinya dengan sebaran mata kuliah yang sama dalam hal pengelolaan pendidikan, tidak hanya KI, lulusan PAI pun berkompetensi untuk menjadi pengelola pendidikan. Dengan kata lain, menjadi pengelola pendidikan tidak monopoli lulusan KI saja.
Rekonstruksi KI
Disinilah signifikansi rekonstruksi KI yang selalu berusaha (a continous attempt) memberikan ciri khas dan jati diri (character and authenticity) KI.
Pertama, seperti tujuan utama didirikannya jurusan KI dalam hal mencetak lulusan KI sebagai lulusan PAI plus yaitu lulusan yang siap menjadi guru sekaligus kuat dalam tradisi akademik ketarbiyahan, sebaran dan muatan mata kuliah tentang perencanaan, penyampaian dan evaluasi materi ke-PAI-an harus juga diajarkan di KI sebagai kurikulum inti khusus utama, sebagaimana disajikan di PAI. Materi-materi tersebut seperti, untuk menyebut beberapa, Qur’an dan Pembelajarannya, Hadits dan Pembelajarannya, Akhlaq dan Pembelajarannya, Tauhid dan Pembelajarannya, SKI dan Pembelajarannya, Fiqh dan Pembelajarannya. Tanpa materi-materi ini lulusan KI tidak layak secara akademik dan profesional menyandang titel guru sekolah atau madrasah.
Kedua, ini yang paling utama karena menyangkut character and authenticity KI yaitu tradisi akademik ketarbiyahan, KI harus berani mereformasi kurikulum inti khusus pendukung yang memberikan nuansa akademis ilmu-ilmu ketarbiyahan. Mahasiswa semenjak semerster lima diarahkan untuk mengambil konsentrasi ilmu ketarbiyahan. Apakah mereka akan mendekati tarbiyah dari sisi fenomenologis atau reduksionis. Fenomenologis mempersiapkan mahasiswa untuk mengkaji tarbiyah dari tradisi keislaman seperti tafsir, hadits, fiqh dan ush al-fiqh dll. Sementara reduksionis mempersiapkan mahasiswa untuk mengkaji tarbiyah dari tradisi barat seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politik, filsafat dll.
Yang terjadi sekarang ini seperti yang termuat dalam kurikulum inti khusus pendukung adalah mahasiswa dikenalkan dengan beragam pendekatan yang berasal dari tradisi Islam dan Barat. Materi-materi itu hanya dikelola secara superficial and partial. Disamping tidak detail pada bagaimana tradisi keilmuan entah itu Islam atau Barat diaplikasikan untuk mengkaji tarbiyah, mahasiswa juga tidak paham betul kenapa rumpun mata kuliah ini harus diambil. Mahasiswa bahkan tidak ngeh (karena secara institusional tidak diberdayakan) dengan tradisi keilmuan apa tarbiyah itu harus didekati dan dikaji.
Misalnya saja pada semester lima mahasiswa sudah dibimbing untuk mengambil konsentari keilmuan sosiologi pendidikan. Maka rumpun mata kuliah kurikulum inti khusus pendukung (30 persen dari total SKS) dengan detail menyajikan mahasiswa dengan materi-materi seperti pengantar sosiologi, teori klasik dan moderen dalam sosiologi, filsafat sosiologi, metodologi sosiologi, sosiologi pendidikan, desain riset sosiologi pendidikan. Dengan demikian, setelah lulus, mahasiswa KI siap menjadi praktisi guru plus matang secara akademik dalam bidang studi sosiologi pendidikan. Tidak seperti sekarang, guru pun tidak, kredibilitas keilmuan tarbiyah juga diragukan.
Ketiga, KI harus berani merombak mata kuliah yang tumpang tindih (overlapping) yang terdapat dalam kurikulum inti umum dan institusional khusus yang muatan materinya hanya pengantar tetapi banyak menyita beban SKS. Materi seperti Qur’an, Hadits, Fiqh Ush al-Fiqh, SKI, Tauhid dan Akhlaq adalah materi pengantar studi Islam atau biasa disebut dengan Dirosah Islamiyah. Anehnya, materi yang berjudul Pengantar Studi Islam juga disajikan. Begitu juga dengan materi Islam dan Budaya Lokal yang tentu saja bisa diselipkan dengan materi Pengantar Studi Islam.
Materi-materi ini cocok diberikan pada mahasiswa KI yang berasal dari SMA yang memerlukan materi-materi pengantar supaya mereka lebih familiar dengan ke-UIN-an atau studi keislaman secara umum. Tetapi tidak dengan mahasiswa yang berasal dari lulusan Aliyah yang selama tiga tahun sudah familiar dengan materi-materi ini. Materi-materi ini hanya pengulangan yang tidak perlu (redundancy) bagi lulusan Aliyah. Karenanya, KI harus berani mengubah sebaran materi pengantar dalam kurikulum inti umum ini sebagai materi matrikulasi yang hanya dibebankan bagi mereka lulusan SMA atau lulusan Aliyah yang nilainya untuk studi keislaman tidak mencukupi. Sehingga beban SKS yang mencapai 16 kredit dalam kurikulum inti umum dan khusus ini bisa dialihkan untuk konsentari ilmu ketarbiyahan dalam rumpun kurikulum inti khusus pendukung yang bebannya 30 persen dari total SKS.
Intinya, mata kuliah yang redundant dan tidak jelas epistemologi keilmuannya (seperti Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Seni dan Budaya Islam) harus dihilangkan. Lalu beban SKS-nya bisa dialihkan ke materi-materi yang menunjang character and authenticity KI. Hanya dengan cara ini lulusan KI bisa menjadi guru plus, guru yang akademis, sebuah kompetensi yang diidamkan dari awal kelahiran KI.
Bibliography
Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah 2008.
Friedman, T. L. (1999) The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (New York: Farrar, Strauss & Giroux).
Gramsci, A. (1971) The Prison Netebooks (New York: International Publishers).