Sering kan dengar dari Ikrar Nusa Bhakti, profesor LIPI-sekarang-BRIN yang vocal bahkan nyinyir ke Jokowi itu? Dia selalu menyampaikan bahwa selama berkarir di luar negeri lebih dari 46 tahun, baru ada kasus di dunia ini ya Jokowi itu. Jokowi yang sebelumnya dicalonkan oleh partainya, PDIP, hingga menjadi wali kota, gubernur, dan presiden, belakangan melawan kehendak partainya. Kasus presiden melawan partai pengusungnya baru pertama kali terjadi di dunia ini, songgong si Ikrar.
Heh heh heh heh … Dulu kita mengangguk saja mendengar pendapat songgong begini. Sekarang sudah banyak mesin AI (artifical intelligence) yang dalam sekian detik bisa memverifikasi pendapat songgong. Minimal ayo lah ke chatgpt.com.
Ya, ada beberapa contoh presiden yang menjauhkan diri dari partai politik yang awalnya mendukung mereka. Hal ini biasanya terjadi ketika prioritas pemerintahan, perubahan ideologi, atau keyakinan pribadi mereka bertentangan dengan agenda partai mereka.
Berikut ini beberapa contoh penting:
1. Thomas
Jefferson (Amerika Serikat)
Partai:
Partai Demokrat-Republik
Meskipun Jefferson merupakan pendiri utama Partai Demokrat-Republik, selama masa kepresidenannya ia membuat beberapa keputusan —seperti Pembelian Louisiana— yang dikritik oleh beberapa anggota partainya karena melampaui pandangan konstruktivisnya yang ketat tentang Konstitusi. Meskipun tidak sepenuhnya berubah, tindakan Jefferson menimbulkan ketegangan dalam partainya.
2. Andrew
Johnson (Amerika Serikat)
Partai:
Partai Demokrat (dipilih sebagai calon wakil presiden Abraham Lincoln oleh
Partai Republik)
Johnson, seorang Demokrat, menjadi presiden setelah pembunuhan Lincoln pada tahun 1865. Meskipun ia terpilih melalui tiket "Persatuan Nasional" dari Partai Republik, Johnson berselisih sengit dengan Partai Republik selama Rekonstruksi. Penentangannya terhadap kebijakan-kebijakan utama Partai Republik, seperti perlindungan hak-hak sipil bagi para budak yang dibebaskan, menyebabkan ia hampir dimakzulkan dan terisolasi secara politik.
3. Charles
de Gaulle (Prancis)
Partai:
Rally of the French People (RPF)
De Gaulle awalnya didukung oleh partainya, RPF. Namun, sebagai presiden Republik Kelima (1959–1969), ia menekankan otoritas presidensial yang kuat dan menjauhkan diri dari partai politik sama sekali. Gaya pemerintahannya sering kali meminggirkan partai politik tradisional, dan sebaliknya berfokus pada visi pribadinya untuk Prancis.
4. Sukarno
(Indonesia)
Partai:
Awalnya didukung oleh berbagai partai nasionalis
Sukarno awalnya menikmati dukungan luas dari partai-partai politik, termasuk faksi nasionalis, Islam, dan komunis. Namun, ia menjauhkan diri dari partai-partai ini selama masa jabatan kepresidenannya, terutama setelah memperkenalkan konsepnya tentang "Demokrasi Terpimpin" pada tahun 1959, yang mengesampingkan politik partai demi kontrol terpusat di bawah kepemimpinannya.
5. Anwar
Sadat (Mesir)
Partai: Uni
Sosialis Arab
Sadat menggantikan Gamal Abdel Nasser sebagai presiden pada tahun 1970. Meskipun awalnya dianggap loyal terhadap visi Nasser, Sadat memisahkan diri dari Uni Sosialis Arab dengan membongkar sebagian besar kebijakan sosialis dan pan-Arabisme Nasser. Ia mengadopsi liberalisasi ekonomi (Infitah), mengalihkan kebijakan luar negeri Mesir ke arah Barat, dan berdamai dengan Israel, sehingga mengesampingkan sebagian besar basis politik aslinya.
6. Miguel
de la Madrid (Meksiko)
Partai:
Partai Revolusioner Institusional (PRI)
De la Madrid, yang terpilih di bawah PRI pada tahun 1982, menjauhkan diri dari kebijakan populis tradisional partai dengan mengadopsi reformasi ekonomi neoliberal. Pergeseran ke arah kebijakan pasar bebas ini menyebabkan ketegangan dalam PRI, yang telah lama dikaitkan dengan pendekatan intervensionis dan statis.
7. Roh
Moo-hyun (Korea Selatan)
Partai:
Millennium Democratic Party (MDP)
Roh Moo-hyun terpilih sebagai presiden pada tahun 2003 dengan dukungan dari MDP, tetapi selama masa jabatannya, ia menjauhkan diri dari partai tersebut. Setelah terjadi perselisihan mengenai kebijakan reformisnya, Roh meninggalkan MDP dan membantu membentuk Partai Uri, sebuah kelompok politik yang lebih progresif, yang secara efektif memisahkan diri dari basis politik aslinya.
8. Jair
Bolsonaro (Brasil)
Partai:
Partai Liberal Sosial (PSL)
Bolsonaro terpilih sebagai presiden pada tahun 2018 dengan dukungan dari PSL, sebuah partai sayap kanan kecil. Namun, selama masa jabatannya, ia memiliki banyak perbedaan pendapat dengan para pemimpin partai dan akhirnya meninggalkan PSL pada tahun 2019 untuk membentuk gerakan politiknya sendiri, Alliance for Brazil.
9. Alberto
Fernandez (Argentina)
Partai:
Frente de Todos (koalisi Peronis)
Fernandez, yang terpilih pada tahun 2019, didukung oleh koalisi yang dipimpin oleh mantan presiden Cristina Fernandez de Kirchner. Namun, selama masa jabatannya, Fernandez telah menjauhkan diri dari Kirchner dan fraksinya dalam gerakan Peronis dalam beberapa isu kebijakan, yang menyebabkan keretakan publik dalam koalisi tersebut.
Mengapa Hal
Ini Terjadi?
Presiden yang menjauhkan diri dari partainya sering terjadi karena:
1. Konflik
atas prioritas kebijakan: Presiden dapat menjalankan kebijakan yang ditentang
oleh partainya (misalnya, reformasi, aliansi, atau perubahan ideologi).
2. Pemusatan
kekuasaan: Beberapa presiden lebih suka memerintah secara independen,
mengonsolidasikan kekuasaan di cabang eksekutif daripada bergantung pada
struktur partai.
3. Ambisi
atau visi pribadi: Presiden mungkin melihat diri mereka sebagai representasi
negara yang lebih luas daripada satu partai, yang menyebabkan ketidaksepakatan
dengan pimpinan partai.
4. Kondisi politik yang berubah: Presiden dapat menyesuaikan strategi mereka berdasarkan realitas atau krisis baru, yang dapat mengasingkan partai mereka.
Keputusan
Jokowi untuk menjauhkan diri dari PDI-P dan mendukung Prabowo-Gibran dalam
pemilihan 2024 merupakan perubahan politik yang signifikan, tetapi bukan hal
yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala global. Situasi serupa telah
terjadi di negara-negara lain di mana presiden bertindak secara independen
dari, atau bertentangan dengan, partai mereka. Yang membuat kasus Jokowi sangat
mencolok adalah dampaknya terhadap lanskap politik Indonesia, di mana loyalitas
dan otoritas partai sangat mengakar. So, Jokowi wasn’t the first case, and thus
unprecedented, in the world that he, as an ongoing president, betrayed his political
party. Gitu loh!
Krar, sebagai pengamat hak anda untuk tidak setuju kepada Jokowi, tetapi bukan mengumbar umpatan kebencian kepadanya. Bahkan sampai blunder menyempitkan pemikiran anda dengan over generalisasi bahwa kasus Jokowi itu unprecedented. Tobat akademis Krar!