Skip to main content

Relativisme Etika

 Etika itu prinsip bisa terkait dengan benar dan salah, tetapi juga, dan tidak jarang justru yang paling pas, terkait dengan baik dan buruk bagi individu ataupun masyarakat. Ini terkait dengan moral dan bagaimana seseorang itu membuat keputusan dan arah tujuan hidup. Kita selalu memegang teguh prinsip moral tersebut dengan menyatakan bahwa kita yang benar, dan sebaliknya orang lain salah. Ini adalah bentuk pertahanan terhadap prinsip moral yang kita miliki dan praktekan ketika prinsip tersebut ternyata berbeda dengan prinsip orang lain. Salah dalam memilih prinsip moral bisa berakibat pada konsekuensi serius seperti hilangnya reputasi, denda, bahkan tidak jarang penjara. 

Norma etika itu lebih luas dari aturan tertulis. Kita bersepakat bahwa pembunuhan itu secara etika adalah perbuatan yang salah. Tetapi kita bisa jadi berbeda pendapat tentang aborsi padahal aborsi itu pembunuhan juga. Ini dikarenakan kita berbeda pandangan tentang human beings atau manusia. Masih soal pembunuhan yang kita besepakat itu tindakan salah-buruk secara etika, tetapi kita berbeda pendapat tentang eutanasia, bunuh diri sukarela. 

Nah, nampak sekarang bahwa etika yang tadinya ditengarahi sebagai prinsip moral universal ternyata pada prakteknya bisa berbeda-beda tergantung pada pemahaman kita terhadap suatu hal untuk dinilai etis atau tidak. 

Kembali ke topik tentang putusan MK 90/2023 yang meloloskan cawapres dibawah usia 40 tahun asal pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pilkada, cap tidak etis pada Gibran itu tergantung pada pemahaman masing-masing. Bagi yang memiliki pemahaman bahwa putusan itu sengaja didesain untuk meloloskan Gibran yang nyatanya masih dibawah umur, mereka menyatakan pencalonan Gibran itu tidak etis. Sebaliknya, bagi Gibran dan pendukungnya, ya etis saja karena implikasi keputusan MK tersebut berlaku untuk semua orang tidak terkecuali Gibran. Nah, beda kan sekalipun dua kubu menggunakan prinsip moral.

Yang ingin diangkat dari tulisan ini adalah konsistensi prinsip moral. Kalau memang sudah konsisten dengan prinsip moral tertentu, maka konsekuensi selanjutnya juga harus tetap menjunjung tinggi moralitas yang diagungkan tersebut. Kenapa satu sisi menganggap pencalonan Gibran tidak etis, tetapi di sisi yang lain justru berlaku tidak etis dengan mendelegetimasi hasil pemilu ketika tau bahwa mereka paslon 01 dan 03 itu kalah. 

Etikanya ketika kalah, apalagi kekalahan telak, ya tidak perlu gembar-gembor ini itu, curang, tolak hasil pemilu, dan pernyataan negatif lainnya yang menegasikan hasil pemilu. Etikanya, mestinya, mereka menerima kekalahan lalu mengucapkan selamat kepada pemenang. Tidak ngulur-ulur waktu sampai pada real count KPU, karena hasil ilmiah akademis quick count itu tidak akan jauh berbeda. Lagi pula real count telah mencapai 75% dan prosentase perolehan suara paslon tetap sesuai dengan hasil quick count. Cukup dari quick count, sore hari itu juga di tanggal 14 Februari, mestinya mereka yang kalah baik paslon 01 ataupun 03 sesegera mungkin mengakui kesalahan, eh typo kekalahan, sekaligus memberi selamat kepada pemenang. Itu baru etis!

Nah, mereka merasa paling menjunjung etika, sekarang kena masalah etika pula. Karena itulah, jangan merasa paling benar, dan karenanya paling baik sendiri. Kebenaran yang diyakini itu bisa jadi dianggap salah oleh orang lain karena perbedaan pandangan tentang hal atau masalah yang sedang dihadapi untuk diberikan label benar-baik atau salah-buruk. Prinsip etika itu memang absolut universal, tetapi prakteknya relatif spesifik.