Akademisi itu sering didengar ucapan dan diikuti tindakannya. Karena akademisi itu bisa dan terbiasa berpikir jernih, obyektif, berdasar fakta di lapangan dengan penalaran logis, disampaikan secara sistematis dan berdiri independen tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik. Ketika berpolitik, akademisi itu jenis politiknya politik kebangsaan. Yaitu politik yang tidak terkotak oleh kepentingan partai atau golongan, tetapi kepentingan bangsa. Karenanya, akademisi itu akan santun setiap kali menghadapi masalah dengan mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan ataupun partai, demi kepentingan umum apalagi kepentingan bangsa.
Ketika paslon yang dipilihnya kalah, akademisi akan menyampaikan sikap untuk menerima kekalahan tanpa harus mencari-cari kesalahan pihak yang menang. Kira-kira mereka akan bersikap "Yaaah ... kita sudah berusaha untuk memilih dan memenangkan paslon kita. Nyatanya kalah quick count. Ya belum rezeqi. Kita terima saja kekalahan ini. Kita ucapkan selamat kepada yang menang. Semoga ini yang terbaik yang Tuhan berikan untuk bangsa. Mari kita bersama-sama mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok atau partai."
Sejuk jika akademisi bisa bersikap dan berperilaku seperi itu. Nyatanya, sekarang kita disuguhi bukan politik kebangsaan tetapi politik praktis oleh para akademisi itu. Akademisi ini serasa tidak mau menerima kekalahan. Yang ada, paslon mereka lah yang harus menang.
Terjebak dalam politik praktis, para akademisi pun mencari-cari cara untuk menang walaupun nyatanya pilihan rakyat menyatakan mereka kalah. Cara-cara itu seperti diskualifikasi Prabowo-Gibran karena putusan MK 90 itu cacat etika, mundur Prabowo-Gibran, impeach Presiden Jokowi.
Sikap arif yang didengungkan selama ini ternyata hanya pepesan kosong. Bukannya arif menerima kekalahan dan mengucapka selamat kepada pemenang. Mereka justru ikut mengkompori situasi yang sudah kondusif selama pemilu menjadi tegang. Skenario mereka, buat ketegangan, demonstrasi dengan perusakan massif di seluruh daerah untuk menolak hasil pemilu. Hingga presiden turun. Hingga Prabowo-Gibran didiskualifikasi. Dan yang mereka harapkan Anis yang walau hanya dapat 25% dinyatakan sebagai pemenang.
Mahfud yang akademisi dan memiliki track record lantang sebagai a lone wolf yang berani keluar dari kungkungan kelompoknya pun sekarang sudah bertransformasi menjadi politisi. Dulu Mahfud lantang menyatakan bahwa pemilu itu dimana-mana curang. Yang melakukan bukan hanya pihak yang menang tetapi juga yang kalah. Konteksnya adalah bukan curang tidaknya, tetapi apakah kecurangan itu bisa dikonversi menjadi suara pihak yang kalah. Tetapi, sebagai pihak cawapres yang kalah, Mahfud pun ikut mendayu-dayu mencari-cari kemungkinan pihak pemenang didiskualifikasi sekalipun menang telak dengan perolehan sekitar 58% dibandingkan calon kalah yang sekitar 25% dan 17%.
Akademisi selalu berkoar-koar pada demokrasi yang berkembang pesat di Eropa Barat dan Amerika Utara yang mesti dicontoh. Demokrasi yang tidak hanya prosedurnya saja, tetapi juga essensinya. Kenapa kita tidak berkaca pada mereka yang dengan begitu mudahnya mengaku kalah dalam pemilu sekaligus mengucapkan selamat kepada pemenang. Mereka biasa dengan a concession speech dengan pernyataan kalah sekaligus menyerah kepada pemenang. Bukannya malah lantang melawan! Nih PM Inggris sudah mengucapkan selamat pada pemenang. Pun PM Australia, PM Singapura, PM Malaysia, Presiden China. Mengapa kita tidak berprilaku demikian?
Picik bukan? Di kelas ketika memberi kuliah sok paling hebat, paling pinter, paling menjaga etika dan moral. Kenyataannya berbeda sikapnya ketika paslon mereka kalah. Etikanya dimana? Padahal mereka ini merasa paling etis. Masih kah ada politik kebangsaan diantara para akademisi? Atau akademisi sudah bertransformasi menjadi politisi. AKAPOL dong! Akademisi Politis.