Sudah jelas kalah tetapi tidak mengakui kalah. Justru mencari-cari kesalahan pihak yang menang. Justru menimpakan pada situasi dan kondisi yang berpihak pada pihak lawan yang menang. Justru menimpakan pada sistem yang membuat pihak lawan bisa menang. Bukannya introspeksi segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada pihaknya sehingga membuatnya kalah dalam kompetisi. Itulah gambaran kita ketika kalah selama ini.
Fenomena sosial tidak menerima kekalahan itu sudah menjadi penyakit sosial. Figur yang selama ini mengklaim sebagai pihak yang menjunjung tinggi etika, yang selalu menyerang pihak lawan tidak memiliki etika, justru sedang melanggar etika yang selama ini mereka deklarasikan. Mengingkari kekalahan karena dicurangi oleh pihak lawan adalah mengingkari kenyataan bahwa dirinya memang kalah.
Buruk muka cermin dibelah. Pribahasa ini memberikan gambaran tepat bagi mereka yang kalah, bukannya menyalahkan dirinya, tetapi justru menyalahkan situasi dan kondisi. Menyalahkan MK yang meloloskan batas usia dibawah 40 tahun, menyalahkan bansos yang digenjot distribusinya oleh Presiden Jokowi, menyalahkan keberpihakan aparatur negara, menyalahkan KPU dan BAWASLU sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu, dan menyalahkan pihak-pihak lain. Padahal mereka ini adalah tokoh-tokoh yang selama ini menyuarakan etika, budi pengerti dan karakter.
Mereka bukannya menerima kekalahan secara kesatria bukanlah tentang membenarkan kegagalan, tetapi tentang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dan etika yang tinggi. Sikap kesatria dalam menerima kekalahan mencerminkan kedewasaan dan rasa tanggung jawab atas hasil dari usaha yang telah dilakukan.
Disinilah poinnya bahwa etika itu ketika diteriakan oleh politisi atau mereka yang terlibat dalam politik adalah etika untuk kepentingan politik, bukan etika untuk kepentingan universal. Nampak di permukaan mereka mendayu-dayu menyuarakan pentingnya etika sebagai jati diri karaketer anak bangsa ketika mengkritisi keputusan MK 90. Nyatanya, ketika mereka kalah, justru mencari-cari kesalahan pihak lain. Masih menjunjung tinggi etika kah mereka?