Hampir setiap gelaran pilpres usai, kita selalu disuguhi sekumpulan orang yang nampak pakar, selalu dihadirkan menjadi nara sumber dari TV ke TV yang komentarnya penuh dengan curiga bahwa pemilu ini penuh dengan kecurangan. Bahwa pemilu 2024 ini yang paling jelek dalam hal kecurangan. Kecurangan itu dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini penyelenggara pemilu yaitu KPU, bahkan pengawas pemilu berupa Bawaslu, aparatur negara yang dikerahkan untuk memastikan paslon yang diinginkan menang, dan bahkan presiden sendiri dianggap selalu melakukan kecurangan dibalik blusukan dengan membagikan bansos.
Para pseudo-intelektual tersebut juga banyak muncul
di grup wassap dengan mensirkulasikan
semacam pencerahan dan tidak jarang menforward potongan video (tidak utuh) terkait
pemilu curang. Bahkan tidak jarang mereka mengomentari quick count yang
dianggap sebagai sok metodologis. Dianggap sebagai penggiringan opini publik.
Dianggap sebagai menyesatkan karena tidak sesuai dengan fakta hitungan mereka dan
kelompok mereka dimana paslon mereka lah yang justru menang. Bahkan tampilan SIREKAP
dalam bentuk pie chart itu dianggap pembohongan publik dikarenakan menyederhanakan
fakta hitungan yang menurutnya masih naik turun prosentasenya dan juga, masih
menurutnya, dianggap penggiringan untuk menampakan pemenang pilpres, yaitu
Prabowo-Gibran.
Publik yang
gundah gelisah karena paslonnya kalah merasa terwakili dengan analisa para pseudo-intelektual
ini. Mereka dengan senang hati mem-viral-kan postingan analisa, gambar, dan
video yang mereka dapatkan. Menyebarlah kemana-kemana narasi pemilu ini sudah
didesain siapa pemenangnya.
Mari kita
kupas satu persatu kecurigaan si pseudo-intelektual ini.
Quick
count itu dilakukan oleh lembaga yang teralisiasi ke paslon dengan tujuan
penggiringan opini kemenangan.
Iya benar
bahwa beberapa lembaga itu terafiliasi pada tim pemenangan paslon. Contoh LSI
Denny Indrayana itu disewa paslon 02. Charta Politika dan SMRC terafiliasi pada
paslon 03. Kedai Kopi pada paslon 01. So what? Hasil quick count mereka menunjukan
angka-angka perolehan suara masing-masing paslon mirip. Maka tidak benar bahwa
afiliasi lembaga survey pada paslon berakibat pada manipulasi hasil survey atau
quick count. Masing-masing lembaga survey itu punya devisi riset dan divisi konsultan
pemenangan. Kedua divisi ini terpisah. Dan lembaga survey yang profesional
tidak akan mencampur adukan kepentingan riset dengan kepentingan keberpihakan
pada paslon meskipun mereka menjadi konsultan. Hidup matinya mereka tergantung
pada public trust. Maka sekali mereka berbuat curang dalam hal memanipulasi
hasil survey, sekali itu pula nafas mereka berhenti mendadak. Itu yang dialami
lembaga survey Puskaptis yang kala itu pada 2019 memenangkan Prabowo pada quick
countnya.
Quick
count itu hanya berdasarkan pada kurang lebih 2000 TPS. Sedangkan jumlah real
TPS mencapai lebih dari 820,161 di Indonesia. Mana bisa hasil dari 2000 TPS, yang hanya 0.24%, menggambarkan
hasil keseluruhan TPS secara nasional?
Disinilah
dibutuhkan kompetensi lembaga survey. Bedanya dengan
pseudo-intelektual, sample mereka itu representatif populasi. Itu bisa dilihat
dari tabel sample ketika disandingkan degan tabel populasi yang memiliki kemiripan
karakteristik demografis seperti gender, agama, pendidikan, pekerjaan, ormas
keagamaan, kelas sosial dll. Contoh kalau survey, prosentase laki-laki dan
perempuan itu mirip antara antara sample dan populasi. Berikutnya sample itu
diambil sesuai stratifikasinya (stratified random sampling). Dari tingkat pusat
ke provinsi ke kabupaten ke kecamatan dan bahkan ke tingkat terkecil desa.
Proses penentuan siapa saja yang bisa menjadi sample di tingkat desa itu
ditentukan lewat tabel random yang memungkinkan peneliti tidak asal comot-random.
Ini yang kita para akademisi sering ingnorant bahwa pengambilan sample itu asal
random dengan cara lotre atau dengan cara menemui siapa saja yang bisa ditemui.
Kembali ke
quick count, sample TPS itu juga tidak asal comot. Proses penentuannya mirip
survey. Sehingga tidak ada peluang dan keinginan para peneliti untuk menjadikan
salah satu TPS sebagai samplenya. Dengan cara itu dimungkinkan tidak adanya
keberpihakan para peneliti terhadap sample. Sehingga probabilitas sample
mewakili populasi itu sangat tinggi. Bahkan di margin of errors yang hanya +
dan – 1% pada confidence interval 95%.
Quick
count itu untuk menggiring opini publik supaya paslon tertentu menang.
Sesuai
aturan, quick count hanya bisa ditayangkan pada jam 15:00 WIB (17:00 WIT, 16:00
WITA). Artinya, pemungutan suara sudah selesai di seluruh TPS Indonesia. Hanya
sebagian kecil TPS yang tidak bisa melakukan pemungutan suara dikarenakan
bencana alam seperti banjir. Disamping itu, pada jam tersebut proses penghitungan suara sudah mulai.
Lembaga
survey itu memutar-mutar angka quick count untuk memenangkan paslon pilihannya.
Lembaga
survey yang mengadakan quick count itu ada jaminan atau garansi profesional.
Mereka, yaitu Litbang Kompas, Poltracking, Charta Politika, PRC, LSI, Indikator
Politik, LSI Dennya JA, Populi Center, SMRC, CSIS-Cyrus, KedaiKOPI, dan Voxpol
dibawah organisasi PERSEPI dan telah lama malang melintang di survey dan quick
count. Hasilnya tidak pernah meleset dari rentang kesalahan (margin of
errors). Disamping itu, integritas para peneliti menjadi jaminan. Mereka
disebar ke TPS yang menjadi sample, mengikuti perhitungan suara secara resmi
karena mendapatkan surat ijin, lalu meginput perolehan suara ke aplikasi android
di HP mereka. Perolehan suara lalu direkap secara nasional dan ditayangkan
secara live di TV-TV nasional. Walaupun dari beberapa lembaga survey yang
disebutkan di atas menjadi konsultan paslon tertentu, mereka tetap
berintegritas dan menginput-merekapitulasi perolehan suara apa adanya.
Tampilan
pie chart SIREKAP KPU itu pembodohan publik dikarenakan penyederhanaan data
hasil rekapitulasi suara secara nasional.
Inilah
walaupun dosen pun bisa menjadi pseudo-intelektual dikarenakan dosen tersebut
tidak secara profesional membidangi metodologi penelitian dan Statistik. Benar
bahwa presentasi data dalam bentuk pie chart itu untuk menyederhanakan hasil
perhitungan suara secara nasional. Tetapi penyederhanaan disini dibenarkan
secara akademis karena sebagai snapshot hasil temuan supaya catchy (mudah
ditangkap mata) dan mudah untuk dicerna. Sehingga ketahuan siapa pemenang siapa
kalah dengan berapa prosentasenya dan berapa jumlah suara sudah direkap. Kalau
menginginkan data yang lengkap tingkat nasional, provinsi, kabupaten-kota,
kecamatan, desa, DAPIL, bahkan TPS bisa mengekliknya sendiri di data https://pemilu2024.kpu.go.id
Maka tidak
ada alasan untuk menyatakan bahwa KPU melakukan pembodohan dengan cara
menampilkan perolehan suara paslon dalam bentuk pie chart. Loh gini kok dosen!
Ga bahaya tah ilmu yang diajarkan ke mahasiswa.
SIREKAP itu sengaja didesain untuk tidak menampilkan suara paslon 02 apa adanya. Justru didesain untuk memenangkan paslon 02.
Aeng-aeng wae! SIREKAP itu hitung cepat versi KPU berdasarkan data masuk dari populasi, bukan sampel, TPS. Kesalahan input sangat dimungkinkan karena banyaknya suara pemilih nasional. Kalau kesalahan ini dikoreksi maka tidak bisa dianggap sebagai proses pembodohan. Lain halnya kalau ternyata setelah disanggah dengan bukti, koreksian tidak dilakukan. Lagi pula, data akhir yang dipakai adalah rekapitulasi nasional secara manual, yang saat tulisan ini dibuat, jumlahnya telah mencapai 76.97% TPS yang mana perolehan suara paslon mirip dengan hasil quick count.
Lembaga survey itu mendapatkan dana dari pihak eksternal. Pasti ada kepentingan berpihak kepada pemberi dana.
Sekali survey nasional dengan responden 1200 - 1500 orang itu membutuhkan tidak kurang dari 1 - 1.5 miliar. Membutuhkan tidak kurang dari 500 personil bertugas sebagai pewawancara untuk bergerak serempak ke seluruh penjuru negeri. Belum lagi personil administrasi dan tenaga ahli. Mereka semua butuh akomodasi, transportasi dan HR. Satu responden biasanya mendapatkan uang lelah tidak kurang dari 100 ribu. Dalam waktu singkat, biasanya 1 minggu, hasil survey tersebut harus di-released supaya tidak kehilangan momentum terkait dengan akurasi hasil survey dan situasi kondisi yang sedang terjadi saat itu.
Dana besar pembiayaan survey yang didapat dari pihak eksternal ini tidak serta merta lalu pihak lembaga itu memanipulasi angka-angka untuk men-servis keinginan pihak pemberi dana. Yang dibutuhkan pihak pemberi dana saat itu justru ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Angka-angkanya seperti apa keunggulan pemberi dana, jika mereka ingin maju pilkada misalnya, dan apa kelemahannya dibandingkan calon lain. Begitu juga sebaliknya, apa keunggulan dan kelemahan pihak lawan. Sehingga pihak pemberi dana bisa memetakan apa yang mesti mereka dan tim lakukan untuk pemenangan. Sekali pihak surveyor memanipulasi data, saat itu pula publik tidak akan trust, percaya, kepadanya. Dan saat itu pula lembaga survey mulai mendekati ajal.
Yang paling mudah mendeteksi apakah pihak lembaga survey itu accountable, dapat dipercaya, atau tidak adalah dengan melihat apakah mereka anggota PERSEPI, perkumpulan survey opini publik Indonesia. Perkumpulan ini lah yang bertanggung jawab untuk melakukan audit dan sekaligus menegakan kode etik ke lembaga survey yang terhimpun. Jadi, lembaga survey itu ada yang mengawasi untuk tidak sembarangan dan serampangan melakukan survey, tetapi mengikuti kaidah ilmiah yang telah ditetapkan oleh perhimpunan, termasuk di dalamnya terkait dengan penerimaan dana dari pihak eksternal.
Ditengarahi
para pseudo-intelektual ini adalah, pertama, para barisan sakit hati
yang pernah menjabat tetapi lalu dicopot oleh Jokowi. Mereka ini di belakang
paslon 01 menggebu-gebu perubahan, bahkan tidak jarang alasan perubahan hanya
dicari-cari asal rubah, asal beda dari bahkan asal jangan Jokowi. Kedua, adalah para barisan pseudo-intelektual
di belakang paslon 03. Mereka selalu mengungkit cacat etika pada putusan MK
90/2023 hingga tidak tegak lurusnya Jokowi dan keluarga pada pucuk pimpinan
partai PDIP. Dan ketiga adalah para akademisi di belakang barisan partai
PKS yang ternyata mereka ini lebih banyak menekankan pada keyakinan daripada
reasoning berbasis data empirik. Bagi mereka, pendapat senior dalam hal ini
pimpinan adalah sabda yang harus diyakini kebenarannya walaupun mereka pada
saat yang sama mengakui bahwa sabda tersebut berbeda dengan kenyataan realita
lapangan. Bagi mereka tunduk pada sabda pimpinan adalah bentuk pengabdian.
Ketiga
golongan ini selalu menolak pencerahan logis berbasis empiris ketika pencerahan
tersebut berlawanan dengan keyakinan mereka. Seperti gambar dalam tulisan ini DENIED FACTS ARE STILL FACTS AMONG THEM. Artinya, menolak fakta dari lapangan adalah masih merupakan fakta di antara mereka. Contoh, akademisi yang bergabung
pada paslon 01, mereka menyakini tidak kalah pada pilpres 14 Februari. Walaupun
quick count menyatakan paslon mereka hanya mendapatkan 25%-an dan hasil real
count KPU dengan jumlah suara masuk mencapai 77% TPS menyatakan hal yang sama, mereka
tetap menolaknya. Mereka menganggap bahwa lembaga survey telah bersekongkol
dengan KPU dan BAWASLU dalam hal kecurangan.
Demikian
halnya dengan akademis yang bergabung dengan paslon 03. Selalu saja curiga pada
pemerintahan Jokowi, sinis pada Gibran, bahkan selalu mengungkit ketua MK yang
dicopot karena pelanggaran etika berat. Mereka masih tidak percaya paslon 03
hanya mendapatkan kisaran 16%. Pasti terjadi kecurangan rekapitulasi suara
sanggah mereka. Mereka ini dari awal juga tidak percaya pada lembaga survey.
Padahal PDIP itu pernah menggunakan jasa Indikator Politik. Pada pilpres kali ini, Charta
Politika dan SMRC adalah konsultan mereka.
Memang berat untuk menerima kenyataan ketika berbeda dengan keyakinan. Sudah kedarung yakin, lha kok hasilnya beda. Tetapi, sebagai akademisi sejati mesti berintegritas untuk tidak selalu mengkambing hitamkan kecurangan oleh rejim Jokowi sebagai sebab terhadap perolehan suara paslon mereka yang rendah. Masih banyak faktor yang secara akademis bisa diterima daripada mencari kambing hitam. Tugas akademisi itu untuk mengklarifikasi dan mengkonfirmasi faktor-faktor determinan terhadap kekalahan paslon. Sekaligus mengakui bahwa Jokowi, walau nampak biasa, ternyata master dalam memainkan catur politik Indonesia. Jokowi, dengan segala kekurangannya, adalah magnet bagi mayoritas pemilih Indonesia. He's not a lame duck as the pseudo-intelectual supposed. Jokowi bukan se-ekor bebek lumpuh seperti yang dianggap para pseudo intelektual.
Gagal mengklarifikasi
dan mengkonfirmasi situasi dan kondisi ini seraya selalu menyalahkan rejim Jokowi
adalah tipikal pseudo-intelektual. Yaitu, nampak intelektual tetapi ternyata memiliki
kriteria un-intelektual. Lho intelektual kok bersikap anti-intelektualisme,
yaitu sikap bermusuhan terhadap dan tidak percaya kepada kerja-kerja intelektual
yang berusaha menyingkap makna secara logis dari fakta empiris di lapangan.