Quick count itu perhitungan cepat berdasar pada sample sekitar 2000-an dari sejumlah 820,161 TPS dalam negeri (ada 3,059 TPS di luar negeri). Penentuan sample tidak asal comot sesuai selera lembaga survey tetapi berdasarkan a standardized random table yang sudah terverifikasi untuk mendapatkan sample yang representasi jumlah total TPS. Dengan confidence interval 95% dan margin of errors +/- 1%, dilakukan penelitian sebanyak 100 kali, angka temuan quick count akan selalu muncul dalam rentang +/- 1%. Secara signifikan, temuan quick count bisa digeneralisasi sebagai temuan populasi TPS dikarenakan sample TPS representasi dari total populasi TPS.
Itu bahasa statistik. Bahasa sederhananya dalam kehidupan sehari-hari, temuan quick count itu dipastikan sama dengan angka real count KPU. Kalaupun ada selisih, angka real count itu nantinya maksimal, repeat MAKSIMAL, adalah + 1 (tambah 1%) atau - 1 (kurang 1%) dari angka real count. Contoh, quick count KOMPAS, Prabowo-Gibran menang telak dengan angka 58.48%. Temuan ini nantinya kalaupun beda dengan angka real count adalah MAKSIMAL antara + 1, yaitu 59.48% sampai dengan - 1, yaitu 57.48%. So, bisa kita simpulkan bahwa Prabowo-Gibran tetap menang telak sekalipun real count KPU masih belum selesai.
Kaidah quick count yang sudah begitu jelasnya sekarang ini menjadi kabur kejelasannya dikarenakan banyak komentar yang politis. Para akademisi itu sudah memiliki kepentingan politis karena berafiliasi atau minimal terasosiasi dengan paslon 01 atau 03. Komentar mereka kira-kira "Tahapan pemilu masih panjang. Kita tunggu hasil real count dari KPU. Quick count itu hanya metode. Jangan sok metodologi karena ada kemungkinan kesalahan. Yang terpecaya dan konstitusional adalah hasil real count KPU. Tidak etis mendahului real count KPU. Kita ini negara demokrasi, negara konstitusional harus mendasarkan pada hukum. Hukum yang sah adalah hasil real count KPU."
Komentar-komentar politis tersebut bukannya memberikan pencerahan tentang quick count, tetapi justru deflecting (membelokan) bahkan bluffering (menipu) kebenaran metodologi dan prediksi quick count. Betul bahwa angka quick count tidak 100% benar. Tetapi jangan berhenti dengan pernyataan seperti ini. Masih harus diteruskan dengan manyatakan bahwa tingkat kesalahan quick count itu ada pada rentang MAKSIMAL + dan -1%. Dengan rentang kesalahan ini, angka quick count tidak akan jauh dari real count. By implication, artinya, Prabowo-Gibran tetap akan menang telak. Selisih 33% dari Anis-Muhaimin dan 42% dari Ganjar-Mahfud. At least, sekarang tengok hasil real count KPU di https://pemilu2024.kpu.go.id/ yang saat tulisan ini dibuat telah mencapai 66.61% suara masuk. Angka real count KPU tidak jauh beda dari quick count, bukan?
Lalu komentar politis berikutnya adalah kemenangan telak Prabowo-Gibran itu tidak lepas dari keputusan MK yang secara tidak etis meloloskan Gibran yang mestinya masih dibawah umur. Karena pemilu tidak jurdil tetapi justru ada cawe-cawe dari Presiden Jokowi. Ada pengerahan aparatur untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Ada bansos yang mestinya diberikan di bulan Maret tetapi dirapel di bulan Februari. Dan masih banyak komentar lainnya tentang kecurangan pemilu. Bahkan komentar yang nadanya agak akademis karena dilontarkan akademisi tetapi ngawur menyatakan bahwa quick count itu dilakukan dengan tidak netral maka validitas dan realibitasnya dipertanyakan. Tentu saja komentar politis yang bernada akademis seperti ini tidak bisa dihubungkan dengan hasil quick count. Dengan kata lain, quick count tidak bisa dan tidak terpengaruh dengan keadaan yang disebutkan curang atau tidak netral ini. Quick count hanya sebatas snapshot atau foto saat itu terhadap perhitungan 2000-an dari 820,161 TPS yang menjadi sample. Dengan kata lain, quick count itu hanya sekedar menginput perhitungan suara TPS yang menjadi sample. Loh tapi kok hasilnya bisa sama dengan real count KPU? Ya karena sample TPS nya yang dirandom berdasarkan a standardized random table adalah representasi jumlah total TPS. Ini nih maksud table random yang terstandarisasi.
Ilmu pengetahuan yang sudah terang benderang seperti ini sepatutnya tetap disampaikan ke publik apa adanya tanpa harus dipotong keterangannya, apalagi ditutup-tutupi. Kalah dalam pertarungan itu hal yang lumrah. Apalagi kekalahannya sangat-sangat telak. Apalagi akademisi (yang paling gagah, paling pinter, paling ilmuwan, paling segala-galanya di depan para mahasiswa) tentu tidak sepatutnya menyampaikan keterangan secara politis hanya untuk menutupi kegelisahan pragmatis.
Ilmu pengetahuan yang sudah benar sepatutnya tidak diseret-seret menjadi salah hanya karena akademisi itu paslonnya kalah. Kuasa akademis harus lebih tinggi dari kuasa politis. Kecuali kita menginginkan kembalinya generasi yang buta huruf dalam hal metodologi (ilmu pengetahuan tentang metode). Ini nih supaya tau metodologi klik linknya. Noway to illiterate generation!