Suku Jawa mendominasi Indonesia tidak hanya dari jumlah penduduk, mobilitas atau sebaran penduduknya ke seluruh penjuru negeri, pendidikan tinggi, tetapi juga akses ke kekuasaan yang berimbas pada akses ke ekonomi dan kesehatan. Suku Jawa memang lebih maju dari suku lainnya. Maka dominasinya bisa dimaklumi walaupun di sana-sini dipertentangkan.
Tidak ada dominasi yang selamanya, begitu menurut alam. Yang sekarang berkuasa, bisa jadi beberapa tahun berikutnya akan runtuh menjadi warga biasa. Yang mayoritas bisa menjadi minoritas, simpelnya seperti itu. Tidak terkecuali suku Jawa.
Contoh, banyak beasiswa ditawarkan yang paling lazim sekarang adalah LPDP. Saya yang suku Jawa dan anda pula, adakah yang mengalami bahwa anak-anak kita minder untuk mendaftar. Mereka minder karena pasti akan kalah bersaing dan ujung-ujungnya gak lolos. Minder itu perasaan merasa inferior, merasa low, merasa tidak fit, merasa pasti kalah dibandingkan dengan orang lain yang dirasa lebih superior, lebih high, hingga lebih fit. Ini penyakit anak-anak kita "kalah sebelum bertanding." Ini akan selalu menghantui mereka.
Sedangkan orang-orang yang sudah berkecukupan, bahkan bisa disebut sebagai orang kaya di negeri ini --yang kuliah pun tidak membutuhkan bantuan beasiswa, yang secara kuantitas mereka ini minoritas, yang mereka ini lemah dalam hal akses ke kekuasaan, tetapi mereka menguasai ekonomi negeri ini, secara budaya beretos kerja tinggi gak kenal lelah siang malam-- perhatian banget dengan pendidikan anak-anak mereka dari usia dini. Mereka inilah yang sekarang ini mendominasi sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, utamanya universitas di Australia, West and East Europe, North America, Russia dan Asia.
Bahasa asing mereka tidak lagi Bahasa Inggris, tetapi German, French, Spanish, Mandarin, atau Jepang. Inggris sudah tidak disebut sebagai bahasa asing karena sudah menjadi bahasa gaul sehari-hari mereka. Mereka melafalkan bahasa Inggris bukan untuk sisipan bahasa Indonesia mereka dengan kata-kata "which is" tetapi sudah dalam kalimat yang komplit. Skor TOEFL PBT mereka over 600, TOEFL iBT mendekati 120, IELTS over 7, dan DuoLingo mendekati 160.
TV yang mereka tonton bukan lagi serial recehan sinetron dengan bahasa Indonesia medok, tetapi TV cable yang semuanya delivered in English. Maka mereka sangat medok dalam beringgris. Buku paket SD, SMP, dan SMA mereka sudah bilingual. Ketika mereka paham dalam versi Indonesia, mereka juga mahir dalam versi Inggris.
Ketika mereka sukses --lebih pinter secara pendidikan, lebih kaya secara ekonomi, lebih kuat secara politik, dan lebih mapan secara kehidupan-- kita mengungkitnya sebagai etnik tertentu. Kita lupa bahwa etos kerja mereka tak tertandingi, bahwa mereka selalu prihatin untuk masa depan generasinya, bahwa mereka rela menderita karena selalu mengumpulkan recehan rupiah untuk diinverstasikan hingga menjadi pundi-pundi miliaran bahkan triliunan rupiah untuk anak-anak mereka.
Etos kerja dan keprihatinan masa depan telah mengantarkan anak-anak mereka mendominasi beasiswa luar negeri yang disedikan oleh negeri ini. Maka tidak susah untuk melihat mereka sekarang ini memiliki pendidikan tinggi lulusan luar negeri yang banyak kita temui di instansi atau lembaga ekonomi ternama. Bahkan mereka sekarang ini menjadi referensi yang menentukan politik Indonesia dengan lembaga survey bonafid yang dimilikinya.
Lah kita? Penghasilan bukannya kita putar untuk menjadi kapital, apalagi untuk kita tabung. Penghasilan langsung kita belanjakan. Itu pun masih tidak nutup dengan besarnya kebutuhan. Boro-boro menginvestasikan penghasilan untuk kursus, bimbingan, dan les anak-anak supaya berprestasi secara pendidikan.
Maka datanglah saatnya kita yang merasa paling memiliki negeri ini terpinggirkan. Bahkan dipaksa minggir karena anak-anak kita tidak cocok untuk karakter masa depan negeri.
Karenanya, mari segera sadar diri untuk memperbaiki generasi kita dengan cara mempersiapkan pendidikan berkualitas. Rebut kembali itu beasiswa LPDP ke luar negeri untuk anak-anak kita. Apakah kita sedang kena sindrom power threat theory? Iya, kita harus sadar diri bahwa minoritas telah mengancam kita sebagai mayoritas. Maka kita sadar akan power threat theory in a positive sense. Yaitu, kita prihatin untuk mengorbankan hidup kita demi kesejahteraan anak-anak, utamanya akses mereka ke pendidikan tinggi di luar negeri. Ingat filosofi Jawa: Muliane anak amargo prihatine wong tua.