Nalar itu perangkat yang hanya dimiliki manusia yang digunakan untuk mencari kebenaran dan tidak jarang digunakan sebagai alat pembenaran terhadap sikap, pikiran, dan pendapat. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan bahkan malaikat adalah manusia memiliki nalar sedangkan hewan dan malaikat tidak memilikinya. Nalar itu memiliki sifat-sifat ketuhanan yang memiliki potensi membedakan mana baik dan buruk. Karena masih berupa potensi, maka nalar meski diasah dan diasuh supaya mampu membuat manusia membedakan mana baik dan buruk. Nalar seperti digambarkan ini memiliki sifat obyektif yang berlaku pada semua manusia.
Dalam perkembangannya, nalar terikat pada kepentingan individu yang menjadikannya subyektif. Baik dan buruk tidak lagi berlaku universal tetapi tergantung pada individu dan kepentingannya. Nalar politik contohnya tumbuh dan berkembang atas dasar kepentingan. Ketika kepentingan itu menguntungkan maka nalar kebaikan dibangun dan disebarluaskan. Tetapi ketika sebaliknya, bahwa kepentingannya tidak terjaga bahkan cenderung merugikan maka dikembangkanlah nalar kebencian. Tidak konsisten karena sekarang suka, besuk bisa berubah menjadi benci. Sebaliknya pula, sekarang benci besuk bisa berubah menjadi cinta. Dengan demikian, keuniversalan nalar telah ternodai oleh kepentingan lokal.
Nalar kebencian pada Jokowi sedang dibangun dan disebarluaskan oleh PDIP kurang lebih satu bulan ini ketika Gibran menjadi cawapres Probowo. Kebencian ini dikarenakan Jokowi sebagai kader partai membelot dengan tidak menyokong Ganjar sebagai capres PDIP, tetapi justru meng-endorse Prabowo yang diusung oleh Gerindra yang secara politik adalah kompetitor PDIP. Ketika Jokowi masih dalam barisan PDIP, PDIP mencintainya, mem-backup-nya dari berbagai serangan lawan politik, mengidolakannya sebagai representasi dari keberhasilan kaderisasi partai. Tetapi ketika Jokowi ditengarahi membelot dari kepentingan partai yang ditandai dengan Gibran sebagai cawapres Prabowo, maka caci maki pun dialamatkan kepadanya sebagai kader yang tidak tau diri, kader yang merusak demokrasi, kader Orde Baru yang melanggengkan politik dinasti.
Nampak bahwa kebencian PDIP pada Jokowi itu dikarenakan PDIP dirugikan dengan Jokowi mengendorse Prabowo - Gibran. Jika Gibran tidak menjadi cawapres Prabowo, jelas PDIP tidak akan melancarkan politik kebencian terhadapnya. Dulu suka sekarang benci.
Demikian halnya dengan Gerindra yang pada piplres 2014 dan 2019 membabi buta membenci Jokowi, lagi-lagi dikarenakan berbeda kepentingan, berbalik menjadi suka kepada Jokowi ketika Prabowo masuk kabinet. Apalagi kali ini untuk Pemilu 2024, Prabowo berpasangan dengan Gibran, tambah lengket deh cintanya Gerindra pada Jokowi. Dulu benci sekarang suka.
Politik memang tidak memiliki nalar. Kalau memilikinya, politik mestinya konsisten. Ketika benci, ya seterusnya benci. Dan ketika cinta seterusnya suka. Konsisten karena suka-benci atau benci-suka itu didasarkan bukan pada kepentingan, tetapi pada nalar obyektif. Sayangnya, berpolitik itu karena memiliki kepentingan, maka benci-suka atau suka-benci itu seperti membalik tangan. Di situ lah, standar ganda norma. Artinya, benci-suka atau suka-benci itu standarnya tidak tunggal obyektif, tetapi ganda subyektif pada kepentingan.
Bungkus politiknya membenci Jokowi karena politik dinasti, tetapi isi bungkusnya karena Jokowi berpaling dari Ganjar menuju pada Prabowo. Bagaimana kalau Jokowi tetap backup Ganjar, akankah PDIP koar-koar politik dinasti?
Bungkus politiknya membenci Jokowi karena neo orde baru, tetapi isi bungkusnya karena Jokowi membelot dari atau tidak tegak lurus pada garis komando. Bagaimana kalau Jokowi tetap satu komando dengan PDIP, akan PDIP koar-koar tentang orde baru?
Bungkus politiknya membenci Jokowi karena potensi penggunaan alat negara untuk pemenangan Prabowo Gibran, tetapi isi bungkusnya karena calon PDIP tidak diuntungkan. Bagaimana kalau penggunaan alat negara itu untuk memenangkan calon PDIP, akankah PDIP koar-koar alat negara?
Dus, politik memang tidak memiliki standar tunggal hingga mengejawantahkan nalar obyektif. Yang ada adalah kepentingan. Selagi kepentingan terjaga, politik kesenangan ditebarkan. Ketika kepentingan tidak terjaga, mulai disebarkan politik kebencian. Kita yang masih waras jangan mau dirusak oleh standar ganda norma yang terjadi di semua partai ini.