Skip to main content

Apa yang salah dari Anies?

 Selang sehari setelah HUT Golkar ke-58 pada 21 Oktober 2022, momen dimana Surya Paloh tidak nyaman ketika Jokowi menyebut jangan sembrono mengajukan capres, Paloh mengumpulkan sejumlah guru besar di Nasdem Tower. Paloh merasa tidak ada yang salah dari pencpresan Anies. Apalagi Anies adalah berada di dalam pemerintahan, pernah menjadi gubernur yang artinya paham dengan birokrasi pemerintahan. Masih menurut Paloh, Anies juga bukan antek luar negeri. Dulu Paloh mencalonkan Ahok dan sekarang mencalonkan Anies. Itu semua dilakukan dalam rangka mempersatukan anak bangsa dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Hingga Paloh menyebut hanya orang yang tidak suka saja yang mengatakan pencpresan Anies salah. 

Anies itu rasis! Dia dengan sengaja menggunakan issu agama untuk memenangkan Pilkada DKI 2017. Issu agama yang menyerang Ahok sebagai orang Kristen ini memang bukan dia yang menciptkannya. Tetapi dia merestuinya karena mendapatkan keuntungan. Mestinya kala itu Anies paling tidak bisa mengerem issu agama dengan menghimbau pengikutnya untuk tidak menyeranga Ahok menggunakan agama. Mestinya Anies menghimbau pada para pengikutnya untuk mengkritik Ahok dalam hal manajemen pemerintahan dan kekurangan-kekurangan lainya dalam hal bagaimana Ahok menahkodai Jakarta selama 5 tahun. Tetapi Anies tidak melakukannya. Bahkan meng-endrose issu SARA tersebut. Paloh tidak lupa kan dengan issu SARA ini karena kala itu berada di kubu Ahok.

Anies itu rasis! Ingat waktu Anies baru saja dilantik Presiden Jokowi lalu berpidato di depan para pengikutnya? Dia menyebut issu pribumi dan non-pribumi. Keteledoran menyebut pribumi dalam konteks ini adalah dia merasa yang beretnik Arab dan Islam itu sebagai pribumi. Sedangkan Ahok yang Cina dan kristen itu sebagai non-pribumi. Pembenturan keragaman etnik dan agama itulah yang disebut sebagai rasis. Keragaman etnik dan agama di satu sisi membuat Indonesia sebagai bangsa dan negara yang multikultural. Tidak seperti Eropa yang merupakan perwujudan dari satu bangsa yang disangga oleh banyak negara, Indonesia adalah satu negara yang disangga oleh banyak bangsa. Di sisi lain, keragaman etnik dan agama ini merupakan issu SARA yang rentan menjadikan Indonesia tercerai berai. Politik identitas yang mengemuka di Pilkada 2017 tidak lepas dari Anies yang dengan sengaja mengkonversinya menjadi suara elektoral dan mengkapitalisasinya menjadi kemenangan.

Anies itu rasis! Anies terlalu mengambil sisi pada para radikalis dan ekstrimis! Radikalis itu para Muslim yang menggunakan issu agama untuk perubahan politik secara mendasar. Sedangkan ekstrimis itu kepanjangan tangan dari para radikalis dengan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan perubahan politik yang didasarkan pada agama. Radikalis itu seperti HTI dan ekstrimis itu seperti FPI. Massa radikalis seperti 212 itu beranggapan bahwa tidak ada yang benar dengan pemerintahan Jokowi. Semuanya serba salah. Ganti presiden! Meskipun gerakan ganti presiden tidak konstitusional. Yang terpenting ganti presiden. Lalu buat negara dan pemerintahan berdasarkan Islam dengan sistem khilaafah. 

Anies itu anti-thesa presiden Jokowi. Berarti thesa apapun yang dilakukan oleh presiden Jokowi selama ini adalah salah. Ketika orang-orang lingkaran Jokowi tersulut dengan "kerja, kerja, kerja" yang sering dilecutkan oleh Jokowi untuk sesegera mungkin bekerja tanpa banyak kata, Anies berhasil melawannya dengan buat "narasi baru bekerja." Perlu diskusi untuk memetakan kerjaan dan bagaimana mengerjakannya. Tanpa narasi, kerja hanya akan tanpa arah dan tujuan. Ketika lingkaran Jokowi menggaungkan normalisasi sungai, i.e. memperlebar dan memperlancar arus sungai, untuk menanggulangi banjir Jakarta, Anies melawannya dengan anti-thesa berupa naturalisasi sungai; mengembangkan eko sistem sungai supaya airnya bisa terserap oleh tanah sepanjang sungai. Ketika lingkaran Jokowi memilih kanalisasi untuk memperlancar arus air menuju ke sungai supaya tidak menggenangi jalan, Anies berhasil mengembangkan anti-thesa berupa sumur resapan. Ketika Jokowi sukses dengan rusun (rumah susun) untuk memindahkan masyarakat yang terdampak dari pelebaran sungai, Anies bahkan dengan tujuan yang sama menggantinya dengan istilah rumah lapis. 

Disitulah tidak etis Nasdem masih di koalisi pemerintahan Jokowi sekarang ini. Benar bahwa Nasdem termasuk yang mensponsori Jokowi bahkan menjadi pioneer sebelum PDIP mencapreskannya. Tetapi, mencapreskan Anies, yang adalah anti-thesa Jokowi, sekarang ini dengan kata lain Nasdem sedang tidak cocok dengan kiprah Presiden Jokowi untuk sisa pemerintahan sampai Oktober 2024. Kalau memang committed pada capres anti-thesa, tidak perlu dimundurkan dari kabinet, mundur saja sendiri dari kabinet sebagai langkah konsekuen. Kalau Nasdem tidak mau mundur dari koalisi pemerintah Jokowi, ya lagi-lagi Nasdem sendang mempraktekkan politik dagang; i.e. tetap mengambil keuntungan dari posisi kabinet (Menkominfo, Menhut, dan Mentan) dan sekaligus membuat kerugian pada pemilik kabinet.

Begitu Pak Paloh mengapa mencalonkan Anies itu langkah sembrono seperti disentil Presiden Jokowi. Ini bukan masalah suka atau tidak suka. Tetapi ini adalah rekam jejak Anies yang rasis dan anti-thesa Jokowi. Kalau memang tujuan Pak Paloh mencalonkan Anies itu untuk tujuan persatuan dengan tanpa memandang bulu latar belakang etnik dan agama, mengapa tidak sekalian saja mencapreskan Rizieq Shihab lalu cawapresnya Ahok? Ini justru akan mempertemukan dua spektrum berlawanan menjadi satu kesatuan dan persatuan Indonesia. 

Mime courtesy tempo.co

Nampak bahwa keinginan pencpresan Anies oleh Paloh untuk tujuan persatuan dan kesatuan bangsa itu sekedar retorika politik. Justru sejatinya Paloh sedang memutar otak bagaimana menaikan suara Nasdem yang dengan segala upaya di pemilu 2019 mentok pada 9% itu. Sebagai partai nasionalis dengan basis massa yang sama atau mirip dengan PDIP, Gerindra, Golkar, dan Demokrat, Paloh sedang berupaya merebut tambahan suara dari para muslim radikalis dan eskrimis beserta para kader dan simpatisannya melalui pencapresan Anies. Anies kalahpun harapannya suara Nasdem semakin naik, syukur mencapai 18% hampir menyamai perolehan Gerindara di pemilu 2019. Apalagi kalau Anies menang, Nasdem semakin menjadi a play maker politik Indonesia. 

Anies sendiri awalnya bukan sosok rasis, ketika masih menjadi akedemisi. Dia beralih menjadi rasis, karena ketika menghadapi Ahok, dia mendapatkan keuntungan (mengkapitalisasi) suara yang berlimpah dari para 212 dan para simpatisannya. Panca indra Anies bukan lagi akademisi, tetapi politisi. Ibarat pedangang, politisi itu mencari untung dan akan terus bekerja karena keuntungan tanpa harus melihat apakah keuntungan yang didapat itu dilakukan dengan cara-cara yang halal (benar) apalagi toyib (baik). 

Begitulah Anies yang tidak lagi committed pada integritas akademisi, tetapi praxis pada ranah jual-beli. Begitulah Paloh! Bahwa ketidaksetujuan pada pencapresan Anies bukan karena faktor like or dislike, tetapi sembrono capres yang rasis dan anti-thesa itu bagi keberlangsungan pembanguan infrastruktur dan keragaman bangsa besar yang multi etnis dan agama ini!