Era multipartai sejak pemilu 1999 membuat masyarakat gegap gempita mendirikan parpol. Ada yang merasa, bahwa mereka sebagai bagian dari masyarakat banyak, harus ada yang mewakili di parlemen. Tetapi tidak sedikit pula yang memiliki pemikiran bahwa dengan mendirikan partai chance mereka untuk terpilih menjadi anggota parlemen terbuka lebar, dibandingkan dengan sebagai pendatang baru yang bergabung denga partai lain. Pemikiran kedua inilah yang sedikit banyak berpengaruh pada beridirnya banyak partai dengan kemiripan visi misi, untuk tidak menyebut nir ideologi.
Keseluruhan partai adalah
nasionalis. Di visi misi partai susah untuk menemukan partai yang tidak
nasionlais. Apalagi UU mensyaratkan persebaran pengurus partai secara nasional.
Maka susah untuk membedakan apalagi membenturkan parta nasionalis dengan
non-nasionalis. Dipetakan dalam bentuk spektrum agama pemilih, ada
partai kiri, tengah, dan kanan. Kiri adalah model partai liberal-sekuler, kanan
partai Islamis, dan tengah adalah partai abangan; Islam Jawa.
Partai tengah dengan basis
garapan pemilih nasionalis abangan adalah PDIP: 27.053.961 (19,33 persen); Gerindra:
17.594.839 (12,57 persen); Golkar: 17.229.789 (12,31 persen); NasDem:
12.661.792 (9,05 persen); dan Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen). Disusul
partai kanan dengan basis massa islamis berturut-turut sesuai jumlah suara ada PKB:
13.570.097 (9,69 persen); PKS: 11.493.663 (8,21 persen); PAN: 9.572.623 (6,84
persen); dan PPP: 6.323.147 (4,52 persen).
Lalu mana partai kiri?
Mayoritas masyarakat
Indonesia itu, seperti digambarkan Geertz (1960), sinkretik, i.e. Islam yang
sudah dijawakan, dan Jawa yang sudah diislamkan. Mereka inilah yang menjadi
garapan partai tengah. Sedangkan yang Islamis, meski dengan kadar yang berbeda,
hanya minoritas. Mereka ini yang menjadi rebutan partai Islam. Yang sekuler?
Sekuler ini adalah bidang garapan seperti partai PRD untuk pemilu tahun 1999
yang sejak pemilu 2019 diteruskan oleh PSI. Masyarakat Indonesia merasa aib
untuk disebut sebagai liberal apalagi sekuler. Mereka condong untuk tetap
disebut masyarakat agamis atau Islamis walau dengan kadar yang sagat titis
sekalipun. Maka partai haluan kiri yang memiliki “ideologi” seperti PSI akan
selalu kesulitan untuk bisa lolos parliamentary threshold 4%.
Partai tengah, sering disebut
sebagai nasionalis relijius, untuk menambah suaranya dipastikan semakin merebut
suara partai Islam. Demikian pula sebaliknya, partai Islam untuk semakin
memperlebar sayapnya pasti menggarap konstituen partai nasionalis. Untuk
memperebutkan suara konstituennya masing-masing, partai-partai ini sudah
mentok. Karenanya, saling sodok antara partai nasionalis-relijius dan Islam
masih akan mewarnai pemilu 2024. Apalagi melihat fakta sosial bahwa konstituen
partai nasionalis-relijius itu semakin tahun semakin Islamis. Contoh, pakaian
muslim semakin marak dipakai oleh konstituen partai-partai nasionalis-relijius.
Demikian juga dengan gairah untuk umroh ke tanah suci yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Maka tidak jarang, partai nasionalis-relijius pun memiliki
sayap Islamis baik dalam bentuk ormas underbow ataupun dalam bentuk circle
pengajian.
Dari sinilah kita paham
mengapa Nasdem mencapreskan Anies. Nasdem sadar bahwa pada satu sisi Anies itu identik
dengan politik identitas dan sekaligus anti-thesa Jokowi. Dan pada sisi yang
lain, Nasdem itu bagian dari koalisi Jokowi bahkan tercatat sebagai partai
pertama yang mencalonkannya bahkan sebelum PDIP mendeklarasikannya. Dan juga
partai yang membenci politik identitas ketika Anies menang pilgub DKI. Ini
hanyalah femomena supersial yang ditangkap banyak orang sebagai sebuah
antagoni, yaitu (1) membenci politik identias, kok sekarang mencalonkannya, dan
(2) mendukung Jokowi tetapi kok juga menjegalnya dengan memilih capres
anti-thesa. Padahal, deep underneath those superficial phenomena lies an
implied meaning bahwa Nasdem sedang ingin bercinta dengan konstituen Islamis, seperti
massa 212, yang selama ini berada dibelakang Anies. Keberhasilan memperebutkan massa
212 akan semakin menaikan suara Nasdem dari 9% di pemilu 2019 naik 100% menjadi 18% di pemilu 2024 hampir menyamai
pencapaian Gerindra di pemilu 2019.
Kalau iya Nasdem naik menjadi
18%, Nasdem susah untuk meraupnya dari konsituten nasionalis-relijius. Nasdem memiliki
resource, yang cukup dalam arti uang. Tetapi tidak memiliki jaringan dan figur
sekuat PDIP, Gerindra dan GOLKAR. Maka kemungkinan penambahan suara 9% akan
direbut dari massa Islamis. Rumpun massa Islamis ada PKB, PKS, PAN dan PPP. PKS
sangat loyal dengan pemimpin partainya, maka sangat susah bagi Nasdem untuk merebut
massa PKS. Kemungkinan mudah bagi Nasdem untuk merebut massa Islamis dari PPP,
yang secara internal terus menerus berkonflik, PAN yang dianggap tidak menentu
arah visi misinya setelah bergabung Jokowi padahal sebelumnya taat opposisi,
dan PKB yang memiliki elemen massa Islamis yang tidak condong pada Muhaimin
sebagai pemimpin partai, tetapi taat pada para Kyai sepuh.
Maka maneuver Nasdem yang
merupakan partai tengah dengan basis massa nasionalis-relijius mencapreskan
Anies tidak bisa disebut sebagai partai plintat-plintut atau pagi kedelai sore
tempe. Karena partai-partai yang sudah disebutkan sebelumnya adalah partai
nir-ideologi. Maka mudah untuk bermaneuver dari tengah ke kanan, juga
sebaliknya dari kanan ke kiri. Partai-partai nir-ideologi itu yang terpenting
adalah bagaimana mendapat KUANTITAS suara sebanyak-banyaknya. Beda dengan
partai ideologi, seperti PBB Yusril, yang terpenting bukan KUANTITAS tetapi
KUALITAS suara (baca: kader). Hanya saja pemilu sebagai pesta demokrasi telah
meproklamirkan diri sebagai wahana untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, bukan
suara sebaik-baiknya. Maka partai yang berorientasi pada suara sebaik-baiknya,
bukan sebanyak-banyaknya, dipastikan tidak lolos ke Senayan.
Dus, “kenakalan” Nasdem yang
berhasil merebut momentum pencapresan Anies akan menjadi masalah bagi partai-partai Islamis. Magnet Anies tidak lagi diidentifikasi sebagai PKS,
apalagi PKB, PAN dan PPP, tetapi Anies adalah Nasdem.