Skip to main content

Pencapresan Anies oleh Paloh

Saya tau dan kenal Anies. Waktu PILKADA DKI 2017 saya banyak mengkritiknya karena menikmati keuntungan dari sentimen agama tanpa mau sedikitpun menghimbau kepada pendukungnya untuk tidak menggunakan issu agama dalam mobilisasi pemilih. Disini integritas dan moralitas Anies dari akademisi telah bergeser ke politisi yang sering menggadaikan bahkan menyingkirkan integritas dan moralitas demi mendapatkan dukungan dan sekaligus memenangkan suara. Anies tidak salah karena memang kondisi demokrasi prosedural, i.e pemilihan langsung, terikat pada patokan kuantitas, bukan kualitas, jumlah pemilih. Seorang calon dinyatakan menang walaupun hanya selisih satu suara. Maka bisa dipastikan siapapun untuk menang akan melakukan hal yang sama seperti halnya Anies.

Euforia kita dalam berdemokrasi ternyata memang baru sampai pada level demokrasi prosedural. Yaitu demokrasi kuantitats yang tidak mensyaratkan apakah keterpilihan seorang calon dilakukan dengan cara yang baik, cara yang patut sesuai dengan norma masyarakat kita yang penuh dengan tata krama, kesopanan, suri tauladan, adigang adigung adiguna dan sifat-sifat mulia lainnya. Norma atau nilai-nilai mulia masyarakat ini hanya masuk pada ranah nilai demokrasi yang mestinya menjadi suri tauladan dan sekaligus menginspirasi demokrasi prosedural supaya menang karena kuantitas itu pun didasarkan pada kualitas suara. 

Tapi, bagaimana mau mengikuti dan mepraktekan nilai demokrasi ketika melakukan kecurangan saja tidak menjamin menang. Teringat pada kalimat "Golek sing haram wae angel, lha kok mikir sing halal." Maka, Anies pun terhanyut pada politik identitas dan nyatanya memberikannya kemenangan menjadi gubernur DKI. 

Euforia politik identitas ini ternyata tidak berlangsung lama. Masuk tahun kedua dan berikutnya, Anies mampu mengalihkan issu politik identitas menjadi politik anti-mainstream, i.e. anti-thesa terhadap politik mainstream rejim Jokowi. Ketika orang-orang lingkaran Jokowi tersulut dengan "kerja, kerja, kerja" yang sering dilecutkan oleh Jokowi untuk sesegera mungkin bekerja tanpa banyak diskusi, Anies berhasil melawannya dengan "narasi baru bekerja." Perlu diskusi untuk memetakan kerjaan dan bagaimana mengerjakannya. Tanpa narasi, kerja hanya akan tanpa arah dan tujuan. Ketika lingkaran Jokowi menggaungkan normalisasi sungai, i.e. memperlebar dan memperlancar arus sungai, untuk menanggulangi banjir Jakarta, Anies melawannya dengan anti-thesa naturalisasi sungai; mengembangkan eko sistem sungai supaya airnya bisa terserap oleh tanah sepanjang sungai. Ketika lingkaran Jokowi memilih kanalisasi untuk memperlancar arus air menuju ke sungai supaya tidak menggenangi jalan, Anies berhasil dengan anti-thesa sumur resapan. 

Gayung bersambut! Surya Paloh sedang menggalang dukungan untuk memperkuat dia dan kubunnya untuk keluar dari dan sekaligus melawan oligarki Jokowi yang dikomandani Megawati. Kecerdikan  Paloh  meminang Anies tidak luput dari keberhasilan Anies sebagai anti-thesa terhadap Jokowi. Paloh sadar bahwa Anies menang di Jakarta karena politik identitas yang banyak dia dan pengikutnya kecam. Tetapi Paloh juga sadar bahwa Anies telah berhasil mentransformasi politik identitas ke simbol anti-thesa terhadap Jokowi. Issu kesetegangan Paloh pada Magawati, karena kesombongan Megawati sebagai partai besar dan pemenang pemilu dan karenanya paling berhak menentukan arah bernegara dan berpemerintahan tanpa sedikitpun memperhatikan kiprah Paloh yang telah malang melintang untuk negeri ini, membuat Paloh perlu menunjukan diri bahwa sebagai partai tengah, Nasdem pun mampu dan berani melawan apapun kehendak Megawati. Jadi, pencapresan Anies bukannya Paloh menjilat ludah politik identitias yang dia kecam, tetapi lebih pada sosok Anies sebagai anti-thesa Jokowi dan karenanya anti-thesa pada Megawati.

Jangankan Paloh, kita pun tau, bahwa Megawati sangat berkuasa dan leluasa untuk menentukan calon presiden yang diinginkannya. Paloh tidak ingin membeo untuk ketiga kalinya setelah dalam dua periode pilpres selalu mengikuti apapun kehendak Megawati. Paloh sedang memberi pelajaran pada Megawati dan oligarki Jokowi bahwa dia perlu mendapatkan respek sekalipun dari partai tengah yang hanya mendapatkan 9% suara. Paloh ingin menunjukan bahwa pengalaman malang melintang sebagai praktisi dari sejarah rejim orde lama, orde baru, reformasi, hingga Jokowi yang membuatnya sukses membangun kerajaan bisnis media dan mampu membawa Nasdem ke urutan lima besar pemenang pemilu adalah sukses yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kualitas dan tahan banting dalam mencapai tujuan. Karenanya, Paloh ingin menunjukan bahwa dia perlu mendapatkan respek lebih dari sekedar "hei ha hei hei" dalam lingkar oligarki Jokowi.

Dalam ilmu militer, bisa jadi langkah Paloh dianggap insurgency karena keluar, membelot dan sekaligus tidak kompak lagi pada kubu Jokowi, Jokowi inner ring. Untuk tidak dianggap insurgency, Paloh berkomitmen menuntaskan Jokowi sampai pada Oktober 2024, tetapi tidak ingin direcoki oleh Megawati. Apalagi mengikuti apapun kehendak Megawati. Saatnya dia mengorbitkan Anies sebagai anti thesa, sejatinya bukan terhadap Jokowi tetapi Megawati. 

Bel sudah dibunyikan dan pertandingan pun dimulai. Paloh lebih awal mencalonkan capres anti-thesa pada Jokowi dan oligarkhinya. Efek coat tail akan didapatkan Nasdem dari suara-suara yang selama ini berseberangan dengan Jokowi. Orang-orang yang gerah dengan kiprah Jokowi yang selalu mengkooptasi orang atau kelompok yang berseberangan dengan Jokowi. Menang akan semakin melambungkan Nasdem. Kalah pun akan tetap mampu meningkatkan suara Nasdem. 

Kejeniusan Paloh dengan pencapresan Anies sebagai anti-thesa terhadap Jokowi sudah dipastikan akan berhadapan dengan capres dari kubu Megawati yang pasti akan di-endorse oleh Jokowi. Maka, pertandingan pun akan berlanjut antara Jokowi man dan Jokowi enemy yang tidak lain adalah Megawati man versus Megawati enemy. Kecuali jika Megawati rela mencalonkan cawapres untuk mendampingi Anies. Tetapi kemungkinannya kecil karena rivalitas Megawati versus Paloh.

Pinter yo Paloh! Hanya gara-gara rivalitas personal dengan Megawati, dia mampu membungkusnya sebagai rivalitas politik. Politik identitas Anies pun mampu ditransformasi menjadi anti-thesa Jokowi. Mobilisasi anti oligarki Jokowi menjadi magnet pengikat (a uniting theme) bagi individu dan kelompok (resource) yang selama ini tersakiti, terdholimi, termarginalkan oleh rejim (grievance) dengan berbagai kepentingan (different interest) menuju pada satu tujuan (objective) berupa perubahan, walaupun sering kali asal bukan Jokowi man. At least, Paloh telah mempraktekan syarat terpenuhinya mobilisasi sosial ala Tilly. Ojo kaget, ojo gumunan!