"Emange kowe entuk opo jaman Pilpres 2019 melu gontok-gontokan antarane cebong karo kampret? Kowe entuk opo nganti terprovokasi Jokowi harga mati? mBasan Jokowi dadi presiden, njuk kowe dadi sugih? Njuk uripmu dadi mapan? Gudil!"
Percakapan singkat di atas menjadi gambaran bahwa perbincangan politik bukan lagi tingkat elit di Jakarta tetapi sudah merebak ke semua lapisan masyarakat, termasuk level angkringan. Kalau semasa rejim Suharto perbincangan tersebut masih samar-samar, tidak dengan setelah Suharto lengser dimana perbincangan nyaring terdengar dimana-mana tanpa ada ketakutan. Apalagi pada level mahasiswa yang dikenal kritis, apapun kejadian selalu ditarik pada politik sebagai tema sentral. Setiap dari kita dengan informasi yang tidak cukup pun bahkan berlagak menguasai betul dengan mengomentari pernik-pernik politik di Indonesia.
Dulu ketika 1998, awal-awal studi master begitu terpovokasinya saya dengan gerakan reformasi Amien Rais yang menghipnotis dan menghipotesakan bahwa segalanya akan berubah menjadi baik ketika politik berubah pula. Politik adalah segalanya. Hipnotis ini memakan banyak "korban" tidak hanya masyarakat biasa tetapi juga terdidik bahwa lengsernya Suhato akan membawa dampak ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat. Sehingga setiap hari kita selalu berhiruk-pikuk mengurusi politik. Nyatanya, sampai berganti ke Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang Jokowi, tingkat ekonomi kita masih biasa-biasa saja. Kita masih dihadapkan pada harga Sembako yang tidak terjankau. Bagaimana mau memikirkan kualitas hidup kalau kebutuhan mendasar urusan perut (bare necessities) saja masih tidak beres.
Yang berubah kehidupannya itu ya yang terlibat langsung dengan politik. Mereka itu adalah para DPR DPRD, para presiden, para gubernur, para bupati, dan para-para lainnya yang terlibat langsung. Mereka semakin layak kehidupannya bahkan melebihi kehidupan Singapura. Sembako mau setinggi apapun tidak berpengaruh pada kehidupannya. BBM mau naik pun mereka senang hati sembari berkomentar subsidi BBM itu membodohi masyarakat. Mereka gak perlu lagi BPJS yang dengan antrian panjang dan fasilitas seadanya karena asuransi kesehatan mereka adalah Axa, Lippo, Sinar Mas, Chubb, Cigna, BRI Life, Prudential, Allianz, atau Manulife. Datang ke rumah sakit mereka dilayani bak raja ke kamar paviliun. Tagihan listrik naik yang menjadikan masyarakat biasa menjerit, mereka pun santai. Anak-anak masyarakat biasa kesusahan biaya pendidikan, anak-anak mereka sekolahnya di Amerika, Eropa, Australia, Singapura dan minimal di Malaysia. Lah kita?
Ternyata perbincangan politik yang sampai pada semua level masyarakat itu tidak menjadikan hidup berubah secara dratis sebagaimana perubahan drastis politik. Perubahan politik secara drastis tidak berkorelasi dengan perbaikan ekonomi apalagi kehidupan secara drastis pula. Benar terjadi perbaikan ekonomi, tetapi tidak dengan perbaikan kehidupan apalagi secara drastis. Kelayakan kehidupan kita masih jauh di bawah tetangga satu rumpun Malaysia. Apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura. Itu yang menjadi ukuran.
Untuk urusan perut saja masyarakat masih menjerit dengan harga sembako, terutama minyak goreng semakin melambung. Tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan. Mayoritas kerjaan masyarakat adalah kerja non-formal seperti buruh, tukang, pedagang dan petani. Contoh tukang lepas sehari mendapatkan 125ribu sudah termasuk makan dan snack. Menuju ke tempat kerja pulang-pergi butuh 1 liter bensin seharaga 7,650. Untuk makan dan snack 15,000. Bawa pulang 102,350. Di rumah punya tanggungan minimal 1 istri dan 1 anak. Belum lagi ada tanggungan sosial seperti jagong dan ngendong. Cukupkah pendapat tukang tersebut? Itu baru tukang, bagaimana dengan asisten tukang yang biasa disebut sebagai AL (bukan Angkatan Laut, tetapi Angkatan Labur) yang dibayar pada kisaran 90ribu per-hari? Belum lagi kalau dibandingkan dengan kerja sektor non-formal di Malaysia, layak kah hidup seorang tukang dan AL tersebut? Ini yang dimaksudkan bahwa perubahan politik secara drastis itu tidak berdampak pada ekonomi dan apalagi kelayakan hidup yang drastis pula.
Lalu kenapa kita mesti terlalu terlibat dalam urusan dan issu politik kalau politik ternyata tidak memberikan dampak pada kelayakan kehidupan kita? Disinilah signifikansi tulisan ini yang menggugah anda semua untuk berpikir ulang. Saatnya energi, pikiran dan waktu kita curahkan kepada urusan selain politik yang memberikan dampak pada kelayakan kehidupan. Apa itu? Kita siapkan anak-anak kita, generasi berikutnya, supaya semakin menguasai STEM (Science, Technology, Engineering, and Math). Ini subjek yang ternyata bisa memberikan perbaikan sekaligus daya saing SDM. Kita ada pada peringkat 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia dan Thailand, bahkan Vitenam apalagi dengan Singapura.
Human capital index (pengetahuan, ketrampilan, dan kesehatan) Indonesia ada pada skor 0.54 yang artinya seorang anak yang lahir di Indonesia nantinya tingkat produktifitasnya hanya 54 persen. Skor ini sama dengan Timor Leste, yang baru saja merdeka 2002, di bawah Thailand dan Malaysia yang mencapai skor 0.6, bahkan Vietnam dengan skor 0.7 dan Singapura dengan skor 0.9 (World Bank 2020). Kenapa kita tidak mencapai minimal seperti Vietnam yang angka produktifitasnya 70% setara dengan China? Padahal politik kita lebih demokratis, lebih tertata, dan lebih baik dari mereka? Sedihnya lagi, kenapa produktifitas kita selevel Timor Leste, anak negeri yang kita lepas tahun 1999, padahal politik kita jauh lebih maju ketimbang Timor Leste?
Kita ini pinter mengomentari urusan politik, sangat excited bahkan menurut saya over-excited. Tetapi lengah untuk mengomentari urusan internal sendiri yang bisa membawa dampak pada kehidupan. Tidak perlu menyandarkan pada politik, apalagi menyalahkan politik ketika hidup anda masih tidak layak. Kita ini terlalu memperhatikan siapa nanti yang akan menjadi presiden, gubernur atupun bupati/wali kota. Padahal perubahan pemimpin tidak merubah kelayakan kehidupan.
Kita terlalu ambisius ketika berkomentar bahwa kalau kita tidak memperhatikan politik, maka para pemimpin negeri ini akan seenaknya memimpin sehingga akan merugikan kita. Anda merasa dirugikan dengan keteledoran mereka? Anda merasa mendapatkan perbaikan kehidupan dengan memperhatikan mereka?
So what? Saatnya tidak terlalu hiruk pikuk pada politik tetapi memikirkan bagaimana hidup ini semakin layak. Mayoritas dari kita bukanlah orang kaya. Maka untuk merubah nasib tidak ada cara lain kecuali melalui pendidikan. Pendidikan yang membuat daya saing SDM kita meningkat yang pada gilirannya meningkatkan kelayakan hidup. Pendidikan yang membuat mobilitas anak para pekerja non-formal seperti buruh, tukang, pedagang dan petani bisa mencapai pekerja sektor formal, yang sangat jelas berapa pendapatan dan berapa pengeluaran, yang sangat jelas asuransi kesehatan, yang jelas kelayakan hidup, dan pada akhirnya yang jelas masa depannya.
Pendidikan sekarang tidak lagi membeda-bedakan antara jurusan IPS dan IPA. Yang di prodi IPA bisa mengambil kuliah rumpun IPS dan begitu pula yang di IPS bisa mengambil kuliah IPA. Artinya, pendidikan memberikan fleksibilitas kemana peserta didik akan berkarir sesuai bidanya masing-masing.
Jangan pernah mimpi politik akan secara langsung memberikan perbaikan ekonomi dan apalagi kelayakan kehidupan. Anda sendiri yang harus memikirkannya dari sekarang bagaimana anak-anak sebagai genarasi penerus ini segera menemukan jati dirinya melalui pendidikan untuk nantinya bisa mencapai produktifitas yang tinggi dan bisa bekerja di sektor formal, sektor yang bisa memberikan kelayakan hidup. Generasi yang tidak over-excited pada urusan politik tetapi anxious pada kualitas SDM untuk menyongsong masa depan yang layak.
Ternyata perbincangan politik yang sampai pada semua level masyarakat itu tidak menjadikan hidup berubah secara dratis sebagaimana perubahan drastis politik. Perubahan politik secara drastis tidak berkorelasi dengan perbaikan ekonomi apalagi kehidupan secara drastis pula. Benar terjadi perbaikan ekonomi, tetapi tidak dengan perbaikan kehidupan apalagi secara drastis. Kelayakan kehidupan kita masih jauh di bawah tetangga satu rumpun Malaysia. Apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura. Itu yang menjadi ukuran.
Untuk urusan perut saja masyarakat masih menjerit dengan harga sembako, terutama minyak goreng semakin melambung. Tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan. Mayoritas kerjaan masyarakat adalah kerja non-formal seperti buruh, tukang, pedagang dan petani. Contoh tukang lepas sehari mendapatkan 125ribu sudah termasuk makan dan snack. Menuju ke tempat kerja pulang-pergi butuh 1 liter bensin seharaga 7,650. Untuk makan dan snack 15,000. Bawa pulang 102,350. Di rumah punya tanggungan minimal 1 istri dan 1 anak. Belum lagi ada tanggungan sosial seperti jagong dan ngendong. Cukupkah pendapat tukang tersebut? Itu baru tukang, bagaimana dengan asisten tukang yang biasa disebut sebagai AL (bukan Angkatan Laut, tetapi Angkatan Labur) yang dibayar pada kisaran 90ribu per-hari? Belum lagi kalau dibandingkan dengan kerja sektor non-formal di Malaysia, layak kah hidup seorang tukang dan AL tersebut? Ini yang dimaksudkan bahwa perubahan politik secara drastis itu tidak berdampak pada ekonomi dan apalagi kelayakan hidup yang drastis pula.
Lalu kenapa kita mesti terlalu terlibat dalam urusan dan issu politik kalau politik ternyata tidak memberikan dampak pada kelayakan kehidupan kita? Disinilah signifikansi tulisan ini yang menggugah anda semua untuk berpikir ulang. Saatnya energi, pikiran dan waktu kita curahkan kepada urusan selain politik yang memberikan dampak pada kelayakan kehidupan. Apa itu? Kita siapkan anak-anak kita, generasi berikutnya, supaya semakin menguasai STEM (Science, Technology, Engineering, and Math). Ini subjek yang ternyata bisa memberikan perbaikan sekaligus daya saing SDM. Kita ada pada peringkat 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia dan Thailand, bahkan Vitenam apalagi dengan Singapura.
Courtesy World Bank 2020
Human capital index (pengetahuan, ketrampilan, dan kesehatan) Indonesia ada pada skor 0.54 yang artinya seorang anak yang lahir di Indonesia nantinya tingkat produktifitasnya hanya 54 persen. Skor ini sama dengan Timor Leste, yang baru saja merdeka 2002, di bawah Thailand dan Malaysia yang mencapai skor 0.6, bahkan Vietnam dengan skor 0.7 dan Singapura dengan skor 0.9 (World Bank 2020). Kenapa kita tidak mencapai minimal seperti Vietnam yang angka produktifitasnya 70% setara dengan China? Padahal politik kita lebih demokratis, lebih tertata, dan lebih baik dari mereka? Sedihnya lagi, kenapa produktifitas kita selevel Timor Leste, anak negeri yang kita lepas tahun 1999, padahal politik kita jauh lebih maju ketimbang Timor Leste?
Kita ini pinter mengomentari urusan politik, sangat excited bahkan menurut saya over-excited. Tetapi lengah untuk mengomentari urusan internal sendiri yang bisa membawa dampak pada kehidupan. Tidak perlu menyandarkan pada politik, apalagi menyalahkan politik ketika hidup anda masih tidak layak. Kita ini terlalu memperhatikan siapa nanti yang akan menjadi presiden, gubernur atupun bupati/wali kota. Padahal perubahan pemimpin tidak merubah kelayakan kehidupan.
Kita terlalu ambisius ketika berkomentar bahwa kalau kita tidak memperhatikan politik, maka para pemimpin negeri ini akan seenaknya memimpin sehingga akan merugikan kita. Anda merasa dirugikan dengan keteledoran mereka? Anda merasa mendapatkan perbaikan kehidupan dengan memperhatikan mereka?
So what? Saatnya tidak terlalu hiruk pikuk pada politik tetapi memikirkan bagaimana hidup ini semakin layak. Mayoritas dari kita bukanlah orang kaya. Maka untuk merubah nasib tidak ada cara lain kecuali melalui pendidikan. Pendidikan yang membuat daya saing SDM kita meningkat yang pada gilirannya meningkatkan kelayakan hidup. Pendidikan yang membuat mobilitas anak para pekerja non-formal seperti buruh, tukang, pedagang dan petani bisa mencapai pekerja sektor formal, yang sangat jelas berapa pendapatan dan berapa pengeluaran, yang sangat jelas asuransi kesehatan, yang jelas kelayakan hidup, dan pada akhirnya yang jelas masa depannya.
Pendidikan sekarang tidak lagi membeda-bedakan antara jurusan IPS dan IPA. Yang di prodi IPA bisa mengambil kuliah rumpun IPS dan begitu pula yang di IPS bisa mengambil kuliah IPA. Artinya, pendidikan memberikan fleksibilitas kemana peserta didik akan berkarir sesuai bidanya masing-masing.
Jangan pernah mimpi politik akan secara langsung memberikan perbaikan ekonomi dan apalagi kelayakan kehidupan. Anda sendiri yang harus memikirkannya dari sekarang bagaimana anak-anak sebagai genarasi penerus ini segera menemukan jati dirinya melalui pendidikan untuk nantinya bisa mencapai produktifitas yang tinggi dan bisa bekerja di sektor formal, sektor yang bisa memberikan kelayakan hidup. Generasi yang tidak over-excited pada urusan politik tetapi anxious pada kualitas SDM untuk menyongsong masa depan yang layak.