Skip to main content

Legacy Jokowi

 “Keberhasilan pembangunan infrastruktur dan kesetegangan relasi antar kelompok Islam adalah kenyataan pembangunan rejim Jokowi.”

Tidak dipungkiri Jokowi telah berhasil meninggalkan peninggalan monumental terkait pembangunan infrastruktur yang tidak pernah dicapai oleh rejim sebelumnya. Jalan toll yang sudah dibangun mencapai lebih dari 1.640 km, non-toll 4.600 km. Bandara 15 baru dan 38 perluasan bandara lama. 124 pelabuhan. 22 bendungan telah dibangun dan akan mencapai 65 bendungan pada 2024 (CNN, 18 November 2022). Belum lagi MotoGP berhasil kembali berlaga in sirkuit Mandalika, yang dibangun tidak lebih dari 2 tahun. Belum lagi gedung-gedung baru dan yang paling monumetal diantara yang monumental adalah memindahkan Ibu Kota negara ke Penajam Paser Utara Kaltim dengan segenap infrastruktur. Eiiits belum lagi Freeport kembali ke negara dengan kepemilikan saham mayoritas. Itu pencapaian luar biasa belum genap 10 tahun memimpin negeri ini.

Deretan pencapaian luar biasa tersebut juga diikuti dengan pencapaian Jokowi yang sangat monumental pula terkait hubungan antar kelompok Islam yang mencapai titik nadir terendah dalam sejarah dimana antar kelompok Islam saling curiga bahkan saling bermusuhan. Keterceraiberaian umat Islam tentu pula tidak bisa dihindarkan dari kontribusi Jokowi sebagai presiden.

Pada rejim Sukarno, perlawanan kelompok Islam disalurkan lewat partai politik. Issu utamanya terkait dengan fondasi bangsa dan negara yang mana kelompok Islam sebagai mayoritas menginginkan Islam sebagai fondasi resmi, sedangkan kelompok nasionalis menginginkan negara tidak berdasar agama. Pada era Jokowi, kelompok Islam menyalurkan perlawanan terhadap rejim tidak melalui formal partai politik tetapi dengan mempengaruhi wacana dan pandangan umat Islam dimana issu utamanya tidak lagi fondasi bangsa dan negara tetapi rejim Jokowi dianggap tidak bersahabat dengan dan bahkan anti Islam.

Kalau pada era Sukarno, perlawanan kelompok Islam lewat partai politik bisa dibilang gagal karena mayoritas umat menerima fondasi negara dan bangsa ini tidak didasarkan pada Islam, perlawanan pada era Jokowi bisa disebut berhasil dan mencapai puncaknya ketika Ahok kalah dalam kontestasi Pilgub Jakarta 2017 bahkan dipenjara 2 tahun ketika pengadilan memvonisnya bersalah karena menghina Islam terkait penyataan Ahok bahwa “orang Indonesia tidak boleh dibohongi oleh orang-orang yang menggunakan surah al-Maidah ayat 51 supaya tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin mereka” (Tempo, 9 Mei 2017).

Kekalahan Ahok yang adalah juga kekelahan Jokowi tidak bisa dipisahkan dari kelompok radikal HTI dan FPI beserta tokoh Muhammadiyah, NU, Masyumi, kader dan simpatisan lintas ormas lain yang tersulut bahwa Ahok telah menodai al-Qur’an. Sekitar 7 juta umat hadir dalam protes 2 Desember 2016 di Monas, yang dikenal dengan Aksi Bela Islam 212, menuntut Ahok sebagai penista agama segera ditahan. Jokowi yang tidak menonaktifkan Ahok sebagai gubernur padahal sudah ditetapkan menjadi tersangka per 16 November 2016 dianggap sebagai keberpihakan pada Ahok dan karenanya dianggap anti Islam. Padahal status tersangka itu mesti ditindaklanjuti dengan penonaktifan sebagai wujud good governance.

Keberhasilan kelompok Islam radikal dalam menumbangkan Ahok, figuran Jokowi, tidak lain adalah keberhasilan melawan rejim Jokowi. Maka tidak mengherankan kalau Jokowi pun bertangan besi, seperti para pendahulunya Orla (Orde lama rejim Sukarno) dan Orba (Orde Baru rejim Suharto), membubarkan HTI 19 Juli 2017 melalui SK Menkumham AHU-30.AH.01.08. Demikian halnya dengan keberhasilan FPI melawan rejim Jokowi, bahkan setelah Jokowi berhasil kembali memenangkan Pilpres 2019 yang oleh FPI dianggap penuh dengan kecurangan yang tidak hanya massif, sistematis dan struktural tetapi juga brutal, berdampak pada pembubaran FPI pada 30 Desember 2020 melalui SKB 220/4780.

Pembubaran kedua organisasi radikal tersebut nampak bukan karena alasan kemananan ataupun disintegrasi bangsa semata, minimal dalam SK tidak disebutkan alasan eksplisit ini, tetapi lebih pada alasan politis untuk kenyamanan rejim Jokowi dan aliansinya. Bahkan tidak sedikit yang menyebut demi keberlangsungan kepentingan oligarki dalam memonopoli akses ke kekuasaan politik dan ekonomi. Tidak adanya oposisi dari DPR, periode 2019-2024 karena hanya menyisakan PKS (50 kursi, 8.7%) dan Demokrat (54 kursi atau 9.4%) dan tidak adanya kontrol dari organisasi masyarakat, karena pembubaran HTI dan FPI, telah mengantarkan kenyamanan rejim dan oligarki Jokowi dalam menjalankan roda kekuasaan tanpa sedikitpun takut terhadap perlawanan masyarakat sipil. Omnibus law UU Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020 dan melemahnya perlawanan sipil setelahnya adalah bukti alasan politis dibalik pembubaran ormas radikal tersebut.

Residu pembubaran HTI dan FPI adalah penggunaan Pancasila sebagai slogan untuk melawan organisasi Islam radikal. Slogan ini menghegemoni sampai pada level masyarakat biasa bahwa setiap Muslim yang terindikasi radikal disebut sebagai anti Pancasila. Stigmatisasi rejim Jokowi inilah yang mengakibatkan hubungan antar kelompok Islam mengalami kerenggangan, never had this harsh relationship existed. Ditambah lagi adanya kriminalisasi terhadap ulama,’ ustadz dan tokoh Islam yang dindikasikan radikal. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami persekusi (penganiayaan) dari kelompok Islam lainnya ketika menghadiri pengajian, seminar, dan ataupun pertemuan. Rizieq Shihab (HRS) dalam pengasingan di Saudi, Abdus Somad (UAS) beberapa kali ditolak sebagai penceramah, Din Syamsuddin (professor UIN Jakarta sekaligus Ketua PP Muhammadiyah 2 periode) mendapatkan perlawanan bahkan diusir ketika melantik dan diskusi tentang KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) adalah segelitir dari banyak contoh persekusi. Tidak sedikit pula dari mereka mengalami prosekusi (penuntutan) dengan kasus-kasus yang terkesan dicari-cari dibandingkan dengan kasus-kasus besar yang menjadi prioritas. HRS telah mengalami ini setelah tiba dari Saudi. Kriminalisasi ini telah berkembang sebagai “upaya penyingkiran terhadap peran ulama, penyingkiran terhadap peran masyarakat Islam, [dan] penyingkiran terhadap Islam itu sendiri” (Aprinus Salam, Republika, 5 Februari 2021).

Kesetegangan yang membuat hubungan antar kelompok Islam tidak nyaman dengan saling stigma sebagai anti-Pancasila dan apalagi kriminalisasi terhadap peran ulama’ dan umat Islam dipungkiri atau tidak terjadi selama Jokowi memimpin. Keterpilihan Ma’ruf Amien, mantan ketua MUI, sebagai wakil presiden tidak mampu menghalau dikursus yang berkembang  di masyarakat bahwa rejim Jokowi adalah anti Islam. Dikursus itu adalah soal narasi dan persepsi. Siapapun yang mampu mengegolkan narasi ini bisa diterima oleh persepsi masyarakat, dia lah yang memenangkannya. Dengan segenap aparatus militer-sipil, kementerian, lembaga negara, dan buzzer yang dipekerjakannya, rejim Jokowi masih kerepotan memenangkan narasi dan persepsi masyarakat bahwa dia bukan anti Islam.

Courtesy of Google

Jokowi masih memiliki sisa waktu 2 tahun untuk membalikan diskursus yang terlanjur berkembang di masyarakat ini dengan cara kembali menciptakan hubungan harmonis antar kelompok Islam tanpa perlu berpihak ke salah satu kelompok. Keberpihakan Jokowi pada kelompok Islam tertentu, ditengarahi untuk menghalau bahkan untuk menghancurkan kelompok Islam radikal, perlu ditinjau ulang. Jokowi bisa berdiri di tengah tanpa perlu menganakemaskan kelompok tertentu dengan mengumpulkan semua tokoh Islam tidak hanya dari NU, tetapi juga Muhammadiyah dan bahkan kelompok Islam radikal untuk kembali hidup harmonis dengan menghilangkan stigma anti-Pancasila. Anies sebagai gubernur Jakarta berhasil melakukan harmonisasi antar kelompok Islam ini sekalipun keterpilihan dia tidak lepas dari kontribusi kelompok radikal HTI dan FPI dalam mengkampanyekannya.

Apakah Presiden Jokowi akan melakukan ini dengan mencontoh Gubernur Anies? Why not! Kalaupun Jokowi sungkan dianggap mencontoh Anies, Jokowi bisa menginisiasi kebijakan dan program pemerintah dari sekarang juga yang saya sebut sebagai harmonisasi hubungan antar kelompok Islam. Satu, jangan ada kembali kriminalisasi pada ulama’ atau tokoh Islam. Dua, jangan ada lagi persekusi terhadap ulama’ atau tokoh Islam. Ketiga, jangan nampak berpihak pada pada salah satu kelompok Islam tertentu dalam rangka untuk menghalau atau bahkan menghancurkan kelompok Islam lainnya. Empat, stop stigmatisasi anti-Pancasila kepada kelompok Islam tertentu yang dianggap radikal. Lima, ajak kelompok Islam, be it moderate or radical, untuk duduk bersama berpartisipasi dalam pembangunan. Enam, last but not the least, tidak kalah pentingnya adalah stop penggunaan buzzer “meledek” dan mempermalukan kelompok Islam tertentu yang dianggap radikal.

Kegagalan melakukan harmonisasi hubungan antar kelompok Islam, dengan enam program terperinci sebagaimana disebut di atas, berdampak pada berlangsungnya diskursus yang kadung berkembang di masyarakat bahwa rejim Jokowi anti-Islam. Hingga Jokowi dianggap meninggalkan legacy ketidaknyamanan relasi antar kelompok Islam. Sebaliknya, keberhasilan melakukan harmonisasi ini berdampak pada menurunnya diskursus di masyarakat bahkan hingga Jokowi disebut tidak hanya sebagai bapak infrastruktur tetapi juga bapak harmonisasi Islam.