Tanpa sadar kita ikut-ikutan mengecap jelek pada setiap individu atau kelompok Muslim yang memiliki prinsip radikal dalam mempraktekkan Islam. Tidak sedikit dari kita tanpa pengetahuan yang cukup ikut-ikutan mencemoohnya dikarenakan kampanye dari rejim dari hari ke hari menit ke menit bahwa radikal itu "aib" yang harus dihindari. Bahwa radikal itu membahayakan negara. Bahwa keberadaan radikal itu tak ubahnya seperti PKI yang selalu merongrong rejim sah. Mereka yang sadar akan pembodohan issu radikalisme ini lalu berspekulasi bahwa stigmatisasi radikal ini sengaja diciptakan dan digencarkan untuk membungkam sekelompok Muslim (Muslim dari kelompok tertentu) agar tidak kritis lagi pada rejim.
Ingatkah kita sejak di bangku sekolah dan apalagi di bangku kuliah, yang di program studi manapun pasti ada mata kuliah Filsafat, bahwa kita diharuskan untuk berpikir secara radikal, yaitu berpikir yang tidak hanya di permukaan saja tetapi sampai ke akar-akarnya supaya permasalahan yang ada itu bisa kita kupas sedalam-dalamnya. Corak berpikirnya selalu membaca apa yang tersirat (between the line atau maa waro'a haadzihi tobii'ah). Untuk bisa berpikir seperti ini diperlukan latihan yang cukup, tidak sekedar hanya tau sesuatu lalu bisa berpendapat. Diperlukan bacaan yang mendalam, melakukan perbandingan dengan pola berpikir lainnya, melakukan kontemplasi (mengangan-angan secara mendalam), melakukan refleksi untuk mengkilas balik pemikirannya, hingga akhirnya membuahkan hasil pemikiran. Dus, berpikir radikal itu selalu tidak puas dengan keadaan yang ada.
Hasil pemikiran radikal tentu saja mengagetkan bagi pihak-pihak yang selama ini tingkatannya hanya sampai pada permukaan dalam memikirkan atau mengobservasi suatu issu.
Mari kita tengok stigmatisasi radikal pada individu atau sekelompok Muslim. Bagi Muslim yang dicap radikal, maka mereka adalah pihak yang aib bagi rejim. Kita di masyarakat pun ikut-ikutan mengecapnya aib dikarenakan kita tidak sempat menganalisa apa sebenarnya radikal itu. Kita rata-rata sekedar mengikuti kampanye dari rejim lalu ikut-ikutan mengecapnya aib.
Mari kita telaah apa sebenarnya radikal itu. Radikal itu mendobrak (challenge itu konotasinya baik) legitimasi norma dan kebijakan yang sudah mapan. Tidak mengarah pada kekerasan. Mereka yang radikal mencakup individu atau kelompok yang menolak nilai, norma atau aturan masyarakat tetapi cara menolaknya dengan cara mematuhi hukum positif yang berlaku. Perubahan sosial dan bahkan politik yang diingikan dari individu atau kelompok ini selalu ditempuh melalui dialog politik. Apakah komunitas radikal menjadi alasan bagi ekstremisme atau justru menjadi mitra penting bagi pemerintah untuk pencegahan terjadinya ektrimisme, saat ini menjadi topik perdebatan politik yang intens.
Bagaimana dengan ekstremisme? Ekstremisme berbeda dengan radikalisme. Para ekstremis menerima kekerasan sebagai cara yang sah untuk mencapai tujuan politik walaupun mereka tidak mesti melakukannya sendiri (bisa jadi kekerasan itu dilakukan oleh kelompok lain dan para ekstremis lalu meng-endorse-nya). Ekstremisme melibatkan pemikiran dualistik antara "kita" versus "mereka." Bahwa "mereka" itu bukan golongan "kita". Para ekstremis rata-rata berasal dari lingkungan padat dan tertutup dari individu-individu yang berpikiran sama. Karena menyetujui penggunaan kekerasan, termasuk terhadap warga sipil, maka ekstremisme dapat semakin mengasingkan individu dari masyarakatnya. Ketika individu sudah terjerabut dari masyarakatnya inilah tahapan penting di mana individu dapat menjadi siap secara psikologis untuk menggunakan kekerasan.
Terorisme mencakup perilaku kekerasan yang berasal dari ideologi yang dianut setidaknya oleh sekelompok individu terbatas. Terorisme mencakup kesediaan serta pelatihan, persiapan, dan tindakan nyata terhadap warga sipil. Teroris menunjukkan keterputusan yang parah dari masyarakat dan cenderung merendahkan (devalue) atau tidak memanusiakan (dehumanise) martabat korbannya. Secara historis, individu beralih ke terorisme ketika mereka tidak melihat kemungkinan lain untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Sekarang kita paham bahwa kampanye rejim selama ini tidak begitu jelas dan tegas (clear and distinct) bahkan cenderung menyamaratakan (gebyah uyah atau simplifying the case) issu radikalisme dengan ekstremisme dan bahkan terorisme. Padahal radikalisme itu tanpa kekerasan dalam meng-exercise perubahan yang diinginkan. Mereka masih mengikuti hukum positif yang berlaku dan dalam koridor sistem perpolitikan nasional, walaupun tidak dipungkiri keterlibatan mereka dalam perpolitikan nasional adalah dalam rangka mencapai tujuan yang mereka inginkan, yaitu perubahan sosial dan politik. Mestinya posisi pemerintah itu bukannya melarang radikalisme, tetapi mengupayakan bagaimana radikalisme itu supaya tidak mengarah pada tindakan kekerasan berupa ekstremisme apalagi sampai pada terorisme. Mosok sih berpikir atau pemikiran dilarang? Bilangnya, menangkap tikus tapi jangan membakar rumahnya? Lha kok sekarang memberangus apapun terkait dengan radikalisme!
Masih mau menyamaratakan, gebyah uyah, simplifying the case, dan bahkan membodohi issu radikalisme? Masih mau menggunakan stigma radikalisme ke kelompok Muslim tertentu itu supaya mereka tercap "aib" di masyarakat hingga bungkam tidak lagi mengkritisi setiap kebijakan rejim? Bilangnya ingin mencerdaskan bangsa lha kok ... !!!