Pilpres 2014 memunculkan stigma cebong versus kampret. Cebong adalah sebutan aib untuk pendukung Jokowi, sedangkan kampret untuk pendukung Prabowo. Semua saling serang untuk menunjukkan kejelakan atau keaiban kelompok. Mencapai puncak pada Pilkada Jakarta 2017. Anis-Sandi, yang diserang sebagai kelompok kampret, menang mengalahkan Ahok-Jarot, sebagai kelompok cebong. Puncaknya pada Piplres 2019 ketika Jokowi bertemu kembali Prabowo untuk kedua kalinya.
Begitu tiap hari bahkan menit ke menit kita disuguhi pemberitaan antara kejelekan cebong dan kampret. Apalagi ketika Prabowo menolak untuk kalah oleh quick count, real count dan bahkan oleh MK. Kelompok Prabowo mengerahkan massa militan yang tuntutannya Jokowi harus mundur atau negara ini hancur. Mengerikan bahwa negeri ini diambang kehancuran. Ini yang melatarbelakangi Prabowo hingga mau menerima pinangan untuk menjadi menteri di kabinet Jokowi. Apalagi ketika Sandi pun menjadi menteri pada reshuffle jilid 2. Negeri pun selamat masih bersatu.
Negeri selamat, tetapi residu permusuhan hasil dari stigmatisasi sosial masih exist. Kadrun, singkatan dari kadal gurun, pun dialamatkan secara negatif ke kelompok Islam militan yang memiliki latar belakang keturunan, persaudaraan, pendidikan, bisnis, dan ataupun hubungan lainnya ke Arab. Begitu militannya, kelompok Islam ini menantang (challenge itu konotasinya baik) legitimasi norma dan kebijakan yang sudah mapan. Mereka lalu distigma sebagai anti-NKRI. Padahal challenge yang mereka lakukan masih dalam koridor hukum dan melalui sistem politik nasional.
Bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan memang tidak asing dengan stigmatisasi sosial. "Ora jawani" adalah stigma terhadap non-Jawa yang dianggap tidak berbudi luhur. Begitu sebaliknya, Jawa distigma sebagai suku penjajah yang merampok kekayaan luar Jawa untuk dinikmati dan pembangunan di Jawa. Stigma ini mereda setelah deklarasi Sumpah Pemuda 1928 yang menekankan perbedaan suku, bangsa, dan bahasa itu tetap dalam ikatan kolektif dalam tanah air Indonesia. Semakin mereda ketika rejim Habibi mengegolkan undang-undang otonomi daerah. Apalagi ketika rejim Jokowi komit pada pembangunan infrastruktur luar Jawa.
Stigmatisasi PKI juga dialamatkan tidak hanya pada kelompok dan keturunan PKI, tetapi pada kelompok yang dianggap melawan pemerintah. Tahun-tahun 70an, 80-an hingga 90-an stigma PKI ini begitu menggema karena regim Suharto menggunakannya untuk menyerang regim Sukarno yang berteman dengan PKI. Stigma PKI, yang sangat menyakitkan karena berakibat pada terasingnya individu dan kelompok dalam lingkungan masyarat, begitu populer di kalangan masyarakat ketika tidak setuju atau jengkel pada kelompok tertentu walaupun kelompok tersebut secara historis tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. "Dasar PKI!" adalah frasa terpopuler kala itu ketika seseorang marah dan jengkel pada individu atau kelompok lain.
Rejim sekarang nampaknya meraup keuntungan dengan stigma anti-NKRI yang dialamatkan pada kelompok yang distigma sebagai kadrun. Kelompok ini memang selama ini aktif mengkritisi pemerintah. Bahkan mereka dianggap melawan kebijakan pemerintah. Apakah mereka tidak boleh melawan? Tentu saja pemerintahan yang demokratis ini membolehkan mereka melawan kebijakan pemerintah ketika perlawanan itu dilakukan dengan cara yang sesuai koridur hukum dan sistem perpolitikan nasional. Karenanya, tidak arif kalau kelompok ini lalu distigma sebagai anti-NKRI hanya karena mereka dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan. Tentu saja rejim Jokowi yang sedang berkuasa ini tidak mau disebut seperti rejim Suharto yang selalu menstigma PKI pada kelompok yang mengganggu stabilitas nasional.
Dus, benang merahnya, stigmatisasi sosial ternyata by design sengaja diciptakan dan dilanggengkan untuk menunjukan kelebihan dari kelompok sosial yang sedang berkuasa. Tujuannya, supaya kelompok lawan yang sedang tidak berkuasa semakin lemah dan tidak mendapatkan simpati karena cap negatif. Semakin tidak bisa mengkritik apalagi melawan kebijakan penguasa. Mulai lah kita dengan istilah buzzer yaitu seseorang atau kelompok yang "mendengungkan" kehebatan kelompok tertentu yang sedang berkuasa dan sekaligus memojokan, memberikan cap negatif, pada kelompok lawan dengan cara mengungkapkan aib mereka. Begitu dominannya buzzer di media sosial, i.e. Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok bahkan grup WA yang kita gunakan setiap hari, begitu tidak kuasanya kita termakan oleh bujuk rayunya tanpa pernah kita bandingkan dengan sumber informasi yang lain.
Apa iya kita, yang kelak pun akan dibaca dan dianalisa oleh generasi berikutnya, ikut-ikutan melakukan stigmatisasi sosial yang gaduh ini? Bangsa ini sedang terjangkiti social distrust, serba mengolok-olok, serba benci, serba tidak percaya yang berujung pada permusuhan. Tidak sepatutnya kita ikut-ikutan melakukan stigmasisasi sosial. Kalau tidak setuju bahkan benci terhadap pendapat kelompok tertentu, tidak sepatutnya lalu mengolok-olok aib kelompok tersebut. Cukup dengan mendebat kekurangan dan kelemahan pendapat kelompok tersebut, tanpa perlu mengungkapkan kejelekan pribadi kelompoknya. Kita sudahi mulai hari ini untuk tidak melakukan stigma sosial.
Kepada rejim Jokowi yang sedang berkuasa, harap dipikirkan generasi muda yang dalam kurun 10 tahunan akan mengisi kursi kekuasaan di negeri ini. Supaya rejim Jokowi segera sadar dan melakukan tindakan nyata akibat sosial dari stigmatisasi kelompok ini. Supaya rejim Jokowi berkontribusi pada menyetop stigmatiasasi sosial demi mempersempit jurang polarisasi sosial yang diakibatkannya. Buzzer yang tempo hari diundang ke istana supaya cukup hanya "mendengungkan" kebijakan pemerintah ke masyarakat, tanpa perlu sedikitpun ikut-ikutan melakukan stigmatisasi sosial terhadap kelompok masyarakat yang tidak setuju pada kebijakan tersebut.
Pak Jokowi, tak bisiki ya Pak, kelompok buzzer ini sudah kelewat batas Pak. Mereka mempraktekkan politik stigma dan tidak sedikit yang mengkapitalisasinya. Mereka inilah yang selalu mengkompor-kipasi polarisasi akibat stigmatisasi. Rakyat kita ini lebih suka "menonton" YouTube daripada membaca berita atau buku untuk mendapatkan informasi. Mereka jarang sekali membandingkan berita dari sumber satu ke lainnya. Maka tipu muslihat dan buju rayu buzzer akan sangat mudah mempengaruhi pemikiran dan pandangan rakyat. Tolong tertibkan buzzers yang hanya bermentalkan rupiah seperti ini Pak.
Tentu saja tidak cukup hanya pada rejim berkuasa, tetapi juga pada semua pihak termasuk kita. Ingat, luka di hati akan membekas selamanya. Tidak seperti luka di kulit yang sirna ketika kembali pulih. Sudahi stigmatisasi sosial atau generasi ini saling tidak percaya.