“A distinction between human action that is meaningful and what which is merely reactive. The latter is based on simple responses to external stimuli and is impulsive, whereas the former is a consequence of thought and a degree of intent.”
Baru
beberapa hari setelah pencapresan Anies oleh Nasdem, serangan datang bertubi-tubi dari elit PDIP. Waktu
perayaan HUT TNI di kantor DPP PDIP, Hasto menunjuk lukisan yang menggambarkan
banyak orang merobek bendera warna biru dari bendera Belanda. Robeknya warna
biru mengindikasikan lepasnya Nasdem dari pemerintahan Jokowi. Hasto juga
mengatakan tidak akan koalisi dengan partai yang mencemarkan masjid. Tentu saja
ini arahnya ke PKS. Apalagi dengan Demokrat yang berkali-kali terang-terangan
Hasto bersitegang mulai dari kongkalingkong pemenangan Demokrat pada pemilu
2004. Bahkan elit PDIP juga menyerang langsung ke Anies dengan mengatakan bahwa
Jakarta tetap banjir sampai saat ini.
Sekjen Hasto adalah
kepercayaan Megawati. Setiap ucapan dan tindakan adalah representasi dari
ucapan dan tindakan Megawati. Maka bukan hal yang mustahil untuk menyatakan
bahwa sindiran dan kritikan Hasto pada Nasdem dan Anies adalah kepanjangan
tangan Megawati.
Lalu mengapa Megawati mesti “besengut”
gegara Nasdem mencapreskan Anies? Tidak susah menebaknya bahwa Megawati memang
sudah sejak lama tidak “sreg” dengan Surya Paloh. Demikian halnya Paloh yang
ditengarahi menyebut Megawati sombong dikarenakan sering memperlihatkan
kemenangan PDIP dua kali berturut-turut yang belum pernah ada di pemilu era reformasi.
Kedua tokoh ini mulai menampakan tanda-tanda tidak harmonis kala Jokowi
memberikan dua kursi menteri pada Gerindra, yang merupakan lawan berat koalisi
partai pemenangan Jokowi. Bahkan reshuffle terakhir ketika Jokowi mengumpulkan
para ketua partai pemerintah, nampak terpancar dari mimik muka Paloh tidak
bersahabat dengan Megawati sampai harus duduk terpisah ditengahi oleh Jokowi. Begitu pun Megawati sekalipun menebar senyum nampak
kikuk berhadapan dengan Paloh. Tambah "senewen" lagi ketika tokoh yang dicapreskan Nasdem adalah musuh bebuyutan Megawati dalam memerangi politik identitas (Islam).
Paloh sudah sadar dari awal
bahwa dia perlu memberi pelajaran pada Megawati bahwa sekalipun dia berasal
dari partai menengah, dengan suara hanya 9% dibandingkan PDIP yang hampir mencapai
20%, dia mampu menjadi a play maker handal untuk pemilu 2024. Untuk “menembak”
Megawati, Paloh pun dengan gagah berani dan gegap gempita mencapreskan Anies,
yang selama ini menjadi figur perlawanan, figur anti-mainstream, figur anti-thesa terhadap oligarki Jokowi, yang tidak
lain adalah petugas partai Megawati.
Anies kemungkinannya akan
diusung oleh koalisi Nasdem (9.05%), PKS (8.21%) dan Demokrat (7.8%) dengan
total suara 25.1%. Tentu saja ini kekuatan besar. Apalagi dengan berjuta-juta
relawan Anies (Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera). Disamping sosok Anies
yang tidak hanya mateng dalam berpolitik, tetapi juga lihai memainkan retorika
politik anti-thesa pada Jokowi. Berhasil membangun Jakarta di tengah koalisi
yang tidak menyokongnya. Plus intelektual lulusan master dan doktoral dari
Amerika. Susah membandingkan sosok berkualitas ini dengan sosok yang lain.
Tentu saja profil Anies dan
koalisi partai pengusungnya membuat gagap Megawati yang langkah-langkahnya
nampak tidak antisipatif tetapi reaktif. Menurut Weber (1968), langkah reaktif
itu reaksi seketika tanpa pemikiran mendalam dan cenderung implusif (meledek dan
meledak-ledak). Sedangkan langkah antisipatif sebagaimana dipraktekan Paloh itu
merupakan aksi berarti yang merupakan konsekuensi dari pemikiran dan niat yang
mendalam.
Supaya reaksi Megawati
berkelas, saatnya Megawati mencapreskan sosok yang bisa menandingi Anies.
Pemilih Indonesia itu karakternya tidak pinter-pinter amat dan tidak
mementingkan sosok pinter intelektual seperti Anies. Sosok ramah, sareh, ora
grusa-grusu, mengalir, tidak meledak-ledak seperti Ganjar akan menjadi
lawan sepadan Anies. Apalagi Ganjar memiliki keuntungan natural sebagai orang
asli Jawa. Dibandingkan Anies yang keturunan Yaman. Maka mobilisasi etnis Jawa
baik di pulau Jawa maupun luar Jawa akan memberikan keuntungan bagi Ganjar.
Disamping itu, Ganjar juga tidak terlalu bodo-bodo amat dalam hal pendidikan
sekalipun juga tidak pinter-pinter amat seperti Anies. Apalagi kalau Ganjar
duet dengan Prabowo dengan disokong partai-partai pemerintah. Maka a game is over
untuk Anies.
Begitu mestinya respon berkelas
Megawati dan PDIP. Bukan malah mengumbar reaksi yang meledek dan meledak-ledak yang
justru memberikan stigma negatif terhadap dia sebagai tokoh bangsa dan PDIP. Jika reaksi negatif ini
tidak segera dihentikan justru berdampak pula pada sosok yang nantinya
dicapreskan oleh PDIP.
Kita nikmati dan kita
imaginasi perseturuan dua tokoh ini. Karena itu tidak perlu berpolitik itu
fanatik. Dulu membenci politik identitas, sekarang justru merangkulnya dan
mentransformasikannya menjadi politik anti-thesa Jokowi. Apalagi sampai
membawa-bawa surga vs neraka, partai syaitan vs partai Allah. Tidak perlu! Emang kalau Anies, Prabowo atau Ganjar jadi presiden, lalu hidupnya menjadi mulia dan kaya?