Skip to main content

The failure of Dwi Tunggal

 A colleague of mine who is an activist, a cadre, and a high-class staff of the Jogja-based Muslimat NU sent me a modified photo of a pair mate for the president 2024, Anies-Imin, sometime in October saying that the unification of Muhammadiyah-NU, HMI-PMII, would make Indonesia glorified to enter into Indonesia Gold 2045. I replied instantly that it wouldn’t be possible for Muhammadiyah – NU or HMI – PMII to be known to compete with each other in almost all aspects of life in this country, ranging from domestic to nation-state issues and from religious to social ones.

Anies, portrayed as a modernist Muslim, known to be a Muhammadiyah follower and an alumni of HMI, would draw his support from Muhammadiyah and HMI. He gained 41.9% from Muhammadiyah compared to 41.6% by Prabowo, a slight margin of 0.3%. This shows that Anies could not convince them and thus capitalize on his rhetorics of change that Muhammadiyah's followers would vote for him. The slight margin of 0.3% would suggest that Anies failed to draw strong support from Muhammadiyah.

Paired with Muhaimin, known as the chair for the PKB and thus cadres of NU, Anies would also get support from NU. The pair unfortunately could only win 21.8% of the NU traditional followers. This is a huge jab to them for Prabowo-Gibran could draw 55.8%, twice more than Anies-Muhaimin could get.

Those figures show that the attempt to unify Muhammadiyah and NU had failed. The competition between these two Islamic organizations has reached even daily life not excluding the principal of the schools from elementary to high school and higher education. The case is also correct to emphasize the harsh competition between the two in the political arena and even economic matters. If you want to be successful in your career, in politics for example, it is not rare to be asked whether you are affiliated with either Muhammadiyah or NU. 

Popular posts from this blog

Politik Kebangsaan

 Akademisi itu sering didengar ucapan dan diikuti tindakannya. Karena akademisi itu bisa dan terbiasa berpikir jernih, obyektif, berdasar fakta di lapangan dengan penalaran logis, disampaikan secara sistematis dan berdiri independen tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik. Ketika berpolitik, akademisi itu jenis politiknya politik kebangsaan. Yaitu politik yang tidak terkotak oleh kepentingan partai atau golongan, tetapi kepentingan bangsa. Karenanya, akademisi itu akan santun setiap kali menghadapi masalah dengan mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan ataupun partai, demi kepentingan umum apalagi kepentingan bangsa. Ketika paslon yang dipilihnya kalah, akademisi akan menyampaikan sikap untuk menerima kekalahan tanpa harus mencari-cari kesalahan pihak yang menang. Kira-kira mereka akan bersikap "Yaaah ... kita sudah berusaha untuk memilih dan memenangkan paslon kita. Nyatanya kalah quick count. Ya belum rezeqi. Kita terima saja kekalahan ini. Kita ucapkan selamat kepada ...

Stigmatisasi Wahabi-Salafi

Pernahkah anda menemukan pendapat seperti ini? "Ini berlaku untuk semua Warga WAG ini: Jika tidak setuju pada pernyataan bahwa Wahabi-Salafi adalah anti-NKRI, silahkan meninggalkan WAG tercinta ini." Dengan redaksi lain tetapi intinya sama pastinya ditemukan di banyak group WA lainnya. Pendapat tersebut dangkal, gebyah uyah, simplifying the case, ungrounded, hasty conclusion dan karenanya terperangkap dalam logical fallacy. Menyamaratakan semua sub-varian Wahabi-Salafi menjadi tunggal. Terinspirasi Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk kembali pada masa keemasan Islam supaya terhindar dari bid’ah dan sekaligus menolak taqlid, Muhammad bin Wahab (1703-1792), penganut Hanbaliyah, mencetuskan gerakan reformasi untuk pemurnian tauhid Islam yang diberi nama Muwahhidun (الموحدون). Gerakan ini, yang lalu disebut sebagai Wahabi (الوهابية), menolak pemujaan berlebih pada orang suci (kalau di lingkungan kita disebut sebagai kyai, ustadz, ulama' dan atau wali) hinggal ziarah ke makam orang...