Situasi setelah pelaksanaan Pilpres 2019 begitu harsh, cruel, korban meninggal dari KPPS mencapai ratusan, dan bahkan skenario penggagalan penetapan KPU beserta keputusan MK dengan demonstrasi penuh perusakan yang berakibat pada puluhan demonstran meninggal. Jalanan, taman dan fasilitas umum sekitar gedung KPU dan MK rusak. Dikompori diprovokasi para elit pendukung Prabowo bahkan Prabowo sendiri bahwa Prabowo-Sandi yang sejatinya memenangkan pilpres, massa begitu bringasnya mempertaruhkan nyawa mereka demi kemenangan capres pilihannya. Tercatat Amien Rais, Bahtiar Nasir, Neno Warisman, Mardani Ali Sera, sebuah orkestrasi radikalisme baik radikal pemikiran maupun radikal Islam (FPI, HTI, 212 dan PKS), bersekongkol membakar massa untuk menolak pentapan KPU dan keputusan MK yang menyatakan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang dengan perolehan suara 85.607.362 atau 55,50 %, sedangkan Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 %.
Polarisasi pendukung
Jokowi dan Prabowo tidak lepas dari Pilgub DKI 2017 yang banyak diwarnai issu
agama Islam. Mobilisasi issu agama Islam yang dikenal dengan politik identitas yang
sengaja diskenariokan oleh para elit radikal Islam ini berhasil merasuki para
pendukung Prabowo, yang aura kharismanya memiliki coat-tail effect kepada Anies,
bahwa umat Islam harus memilih Anies. Bahwa pilihan pada Ahok yang jelas kafir
itu bertentangan dengan aqidah Islam. Intinya, orang Islam ya harus memilih
pemimpin Islam. Keberhasilan eksperimen kapitalisasi issu agama Islam pada Pilgub
DKI 2017 ini sengaja di-copy paste ke Pilpres 2019 untuk memenangkan Prabowo-Sandi
oleh para elit radikal Islam. Maka nyaring terdengar kala itu ada sebutan
partai Allah vs partai syaitan. Bahwa Allah pasti akan memenangkan Prabowo.
Dasar keyakinan seperti ini yang selalu diumbar setiap saat menjelang dan
sesudah Pilpres 2019 terus membakar massa pendukung Prabowo anarkis karena
mereka lah yang ada di pihak pemenang.
Syukur alhamdulillah,
hidayah akhirnya datang pada Prabowo. Dia mendapatkan petunjuk bahwa selama ini
telah berteman dan bersekongkol dengan kelompok yang salah, elit radikal Islam.
Dia pun menyabut baik dengan pinangan Jokowi untuk masuk kabinet sebagai
menteri pertahanan. Banyak cibiran, caci maki terhadapnya waktu itu sebagai
orang yang mencla-mencle yang tidak begitu peduli dengan massa pendukung yang
bahkan telah mempertaruhkan nyawa demi dia. Cacian pun terdengar ketika di
debat pilpres 2024 Anies menyebutnya sebagai orang yang tidak tahan sebagai
oposisi. Prabowo menerima cacian dan makian seraya selalu menyatakan
rekonsiliasi adalah keniscayaan supaya bangsa ini tidak terpecah belah oleh
ambisi elit.
Benar
adanya, rekonsiliasi berhasil membawa kabinet Jokowi kompak dan berhasil dengan
predikat terbaik menghadapi Covid 19. Pertumbuhan ekonomi pun mampu bertahan di
5%. Prabowo pun mendapatkan rating tertinggi di antara para menteri. Tentu saja
masih banyak kekurangan di sana sini, tetapi apresiasi perlu diberikan bahwa rekonsiliasi
Prabowo dan Jokowi memberikan dampak yang positif untuk pembangunan Indonesia.
Tidak hanya infrastruktur seperti jalan toll, jalan desa, waduk, embung,
irigasi, gedung dll, yang dibanggakan tetapi juga kepemimpinan Indonesia dalam
G-20 pada tahun 2022 yang berhasil dengan Deklarasi Bali, sebagai negara Asia pertama
yang menjadi pimpinan dunia. Tentu saja kekurangan itu masih ada seperti hutang
luar negeri yang semakin membumbung tinggi. Tetapi pengingkaran pada
keberhasilan ini adalah penistaan pada kewarasan akal sehat.
“Ojo chedak
kebo gupak” artinya jangan deket dengan teman jelek yang dilakukan Prabowo untuk memilih teman yang benar berhasil
membawa Prabowo terpilih sebagai presiden pada pilpres 2024 dengan perolehan
suara hampir 59%, jauh dari perolehan Anies sekitar 25% dan Ganjar sekitar 16%.
Dengan dukungan penuh Jokowi, minus elit radikal Islam, Prabowo berhasil memenangkan
simpati rakyat Indonesia di hampir seluruh provinsi, minus Aceh dan Sumatera
Utara. Politik yang memobilisasi dan karenanya mengkapitalisasi issu agama
Islam pun tidak berhasil mengelabui rakyat Indonesia. Issu politik Islam yang berusaha dibangun Anies dan elit radikal Islam kalah populer dengan approval rating Jokowi yang mencapai 80%. Fakta bahwa Jokowi dicintai rakyat ketimbang elit radikal Islam.
Bagi mereka
yang merasa dicurangi dari kekalahan telak ini hendaklah tidak memobilisasi
issu “perjuangan tidak berakhir sampai titik penghabisan.” Masih ada Pilpres
2029. Tahan sebentar, kilas balik kekalahan, lakukan terobosan, dan kembali lah
berkompetisi. Begitu pun bagi kaum radikal Islam, bermainlah elok-cantik dengan
tidak membubuhi issu agama Islam bahwa perjuangan belum usai dan, karenanya,
tolak Pilpres 2024. Paling tidak belajarlah dari sosok intelektual politisi Amen
Nangis, yang selalu menangis karena kalah terus menerus, tetapi kali ini diam
untuk mendinginkan suasana seraya persiapan untuk pilpres berikutnya di tahun 2029 walaupun
partai Allah-nya hanya mendapatkan nol koma. Paling tidak ini adalah tanda khusnul khootimah.