Skip to main content

Kalah nyolot

 Setelah penetapan KPU pada 20 Maret dengan perolehan suara Prabowo-Gibran 96,214,691 (58.59%) sebagai pemenang dan paslon kalah berturut-turut adalah Anies-Muhaimin dengan perolehan suara 40,971,906 (24.95%) dan Ganjar-Mahfud 27,040,878 (16.47%), tidak membuat kubu yang kalah lerem. Padahal, mereka inilah yang menolak quick count dan menunggu real count KPU untuk mengetahui siapa sejatinya yang menang dan kalah. Ketika kalah, bukannya mereka menerima kekalahan, tetapi justru nyolot atau ngelunjak bahwa, menurutnya, mereka memang diskenariokan kalah dengan cara mengurangi perolehan suara yang mestinya mereka dapatkan. 

Kita jadi disodori budaya nyolot, yang sejatinya bukan budaya kita, terutama Jawa. Orang Jawa terbiasa turun temurun dengan budaya sareh ketika ada masalah. Pertama, orang Jawa akan tenang menyikapi masalah sembari memikirkan (menggalih) solusi terbaik terhadap masalah tersebut. Kedua, ora gedandapan artinya tidak kesana kemari apalagi hiruk pikuk supaya diketahui orang lain atau publik bahwa dirinya sedang mencari solusi terhadap masalah yang ada. Tidak juga memainkan peran bahwa dirinya adalah korban dari masalah yang ada atau bahasa gaulnya playing a victim. Ketiga, ora grusa grusu artinya tidak tergesa-gesa. Masalah itu tidak langsung dicari solusinya tetapi diendapkan terlebih dahulu, ditimbang-timbang terlebih dahulu duduk perkaranya. Setelah jelas, baru dicari solusinya. Dus, pembawaan orang Jawa itu kalem sekalipun sedang dirundung masalah. Tetap sedih dengan masalah yang ada, tetapi penampakannya tenang (peaceful) demi terciptanya situasi dan kondisi yang harmoni.

Sudah jelas kalah dengan selisih suara telak, nyolot juga membawa ke MK dengan tuntutan diskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai pemenang. Mereka meminta supaya pemilu diulang. Ketika press conference tentang tuntutan mereka ke MK, mereka tidak sedikitpun menunjukan raut muka yang sedih layaknya pihak yang kalah. Mereka nampak seperti sebagai pemenang yang suaranya dicurangi, yaitu diambil dan dialihkan, ke Prabowo-Gibran. Kita tunggu apakah setelah putusan MK, mereka akan menerimanya. Dari yang sudah-sudah di tahun 2014 dan 2019, mereka tidak akan menerima putusan MK yang menyatakan mereka kalah. Mereka menolak dengan agresif dan justru melampiaskannya dengan kekerasan. 


Inilah bahwa kita sedang disodori drama budaya Arab yang pembawaannya nyolot (hot tempered) and kekerasan (violent). Orang Arab itu tidak memiliki kapasitas untuk menerima bahwa mereka itu salah. Mereka merasa selalu benar, dan oleh karenanya mereka selalu mengharapkan diberi treatment bahwa mereka selalu benar. Tidak jarang, karena sikap yang merasa selalu benar, mereka ini lalu offensif. Kata-katanya selalu menyerang orang lain dan menganggap orang lain itu sebagai musuh. Tidak heran dengan budaya seperti ini, Timur Tengah (Middle East) itu menjadi daerah yang tidak pernah damai selama beribu-ribu tahun. Dari sejak zaman nabi, kholifah hingga sekarang ini, hidup mereka penuh dengan kekerasan (violent), peperangan dan permusuhan yang jauh dari ketentraman (harmony). Itu semua dikarenakan budaya mereka atau lebih tepatnya their way of life. Cara hidup mereka memang seperti itu. Atau justru mereka malah bangga dengan kekerasan, permusuhan, dan peperangan karena anggapan bahwa mereka selalu benar.

Kembali ke poin permasalahan pemilu 2024, iya bisa diterima bahwa pemilu kita ada masalah. Tetapi, cara menyikapinya tentu saja tidak patut kalau pakai budaya Arab yang nyolot, aggressif, offensive dan selalu bermusuhan. Cukup kiranya urusan pemilu ini selesai dengan penetapan KPU. Menang dan kalah itu lumrah dalam perlombaan. Kalau masih tidak puas, berkompetisi lah kembali lima tahun yang akan datang di 2029. Tidak perlu menunjuk-nunjuk pihak lain sebagai pihak yang curang. Introspeksi dirilah bahwa suara yang kalah itu terpaut sangat jauh dari yang menang. Mari kita mensikapi hasil pemilu ini dengan budaya kita yang arif dan bijaksana, yaitu sareh: tenang, ora gedandapan, ora grusa grusu, dan penuh kedamaian. Demi situasi dan kondisi yang harmoni, kita orang Jawa terbiasa untuk mengorbankan diri sendiri. In order to maintain harmony, we often feel the need to make sacrifices in our own lives.

Popular posts from this blog

1 Syawwal 2024

  Tidak seperti kalender Masehi yang berdasarkan matahari, penentuan tanggal dalam kalender Islam berdasarkan bulan. Hitungan 1 bulan dalam kalender Islam bisa 29 atau 30 hari. 2.       Dua metode penentuan awal bulan, yaitu WUJUUDUL HILAAL ( وجود الهلال ) atau penampakan bulan dan RUKYATUL HILAAL ( الهلال رؤية) atau penglihatan bulan.  Bagi penganut WUJUUDUL HILAAL ( وجود الهلال ) , berapapun ketinggian bulan kalau sudah muncul maka besuk berarti sudah bulan baru. Walaupun ketinggian bulan tersebut belum bisa dilihat mata telanjang manusia di bumi. Sedangkan bagi RUKYATUL HILAAL ( الهلال رؤية) , mempersyaratkan ketinggian bulan minimal 2 derajat atau jarak bulan ke matahari 3 derajat supaya mata telanjang manusia di bumi bisa melihat bulan. 3.       Ketika matahari terbenam pada Selasa Legi 9 April, bulan muncul dengan ketinggian 6 derajat. 4.       Baik penganut WUJUUDUL HILAAL ( وجود الهلا...

Relativisme Etika

 Etika itu prinsip bisa terkait dengan benar dan salah, tetapi juga, dan tidak jarang justru yang paling pas, terkait dengan baik dan buruk bagi individu ataupun masyarakat. Ini terkait dengan moral dan bagaimana seseorang itu membuat keputusan dan arah tujuan hidup. Kita selalu memegang teguh prinsip moral tersebut dengan menyatakan bahwa kita yang benar, dan sebaliknya orang lain salah. Ini adalah bentuk pertahanan terhadap prinsip moral yang kita miliki dan praktekan ketika prinsip tersebut ternyata berbeda dengan prinsip orang lain. Salah dalam memilih prinsip moral bisa berakibat pada konsekuensi serius seperti hilangnya reputasi, denda, bahkan tidak jarang penjara.  Norma etika itu lebih luas dari aturan tertulis. Kita bersepakat bahwa pembunuhan itu secara etika adalah perbuatan yang salah. Tetapi kita bisa jadi berbeda pendapat tentang aborsi padahal aborsi itu pembunuhan juga. Ini dikarenakan kita berbeda pandangan tentang human beings atau manusia. Masih soal pembunu...