Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2022

Legacy Jokowi

  “Keberhasilan pembangunan infrastruktur dan kesetegangan relasi antar kelompok Islam adalah kenyataan pembangunan rejim Jokowi.” Tidak dipungkiri Jokowi telah berhasil meninggalkan peninggalan monumental terkait pembangunan infrastruktur yang tidak pernah dicapai oleh rejim sebelumnya. Jalan toll yang sudah dibangun mencapai lebih dari 1.640 km, non-toll 4.600 km. Bandara 15 baru dan 38 perluasan bandara lama. 124 pelabuhan. 22 bendungan telah dibangun dan akan mencapai 65 bendungan pada 2024 (CNN, 18 November 2022). Belum lagi MotoGP berhasil kembali berlaga in sirkuit Mandalika, yang dibangun tidak lebih dari 2 tahun. Belum lagi gedung-gedung baru dan yang paling monumetal diantara yang monumental adalah memindahkan Ibu Kota negara ke Penajam Paser Utara Kaltim dengan segenap infrastruktur. Eiiits belum lagi Freeport kembali ke negara dengan kepemilikan saham mayoritas. Itu pencapaian luar biasa belum genap 10 tahun memimpin negeri ini. Deretan pencapaian luar biasa tersebu...

Terlalu politik

"Emange kowe entuk opo jaman Pilpres 2019 melu gontok-gontokan antarane cebong karo kampret? Kowe entuk opo nganti terprovokasi Jokowi harga mati? mBasan Jokowi dadi presiden, njuk kowe dadi sugih? Njuk uripmu dadi mapan? Gudil!" Suatu hari pas bimbingan disertasi di tahun 2006, supervisor Michael Humphrey nyeletuk “I don’t know what happened with your country. Why people so immersed in politics in Indonesia? Hah! What do you think? Sempat berpikir beberapa detik, aku jawab “Would it be that life is not so good yet compared to let's say Australia?” Supervisor lalu menimpali “Correct! But you know what? They thought politics would answer all the problems but actually did not. Look! From 1998 up to now, life remains not good in there while politics dramatically changed.” Ini berbeda sekali dengan kehidupan di negara maju seperti Australia dimana masyarakat awam pun enggan bahkan "alergi" untuk membicarakan politik. It didn't benefit us, begitu kira-kira sangga...

Welkem bek Bib!

 Welcome back Bib! Telah bebas bersyarat per hari ini. Selamat datang kembali di dunia nyata untuk tetap memberikan pencerahan kepada umat sekaligus kritis terhadap rejim.  Rejim sekarang ini tanpa ada oposisi kuat yang bisa mengimbangi apalagi mengkritisinya. Semua pada membeo apapun kehendak rejim. Kalaupun ada yang tidak, itu hanya minor saja. Di parlemen tinggal ada PKS (50/575 = 8.7%) dan Demokrat (54/575 = 9.4%). Apalah arti dari suara mereka minoritas hanya 18.1%. Di kehidupan nyata sosial dan masyarakat pun hampir tidak ada suara yang berani apalagi berhasil mengkritisi rejim. Demonstrasi BEM pun kalah nyaring dengan suara rejim. Bahkan selalu distigmatisasi ricuh. Tokoh nasional yang biasa kritis seperti Rocky Gerung, Refli Harun dan pemandu ILC Karni Ilyas pun terbenam dengan setiap kebijakan rejim. Bahkan distigmatisasi gak ada kontribusinya bagi bangsa karena pinter ngomong mulu' nol aksi.   Foto courtesy detik.com Saya pribadi tidak setuju dengan style dan to...

Stigmatisasi Wahabi-Salafi

Pernahkah anda menemukan pendapat seperti ini? "Ini berlaku untuk semua Warga WAG ini: Jika tidak setuju pada pernyataan bahwa Wahabi-Salafi adalah anti-NKRI, silahkan meninggalkan WAG tercinta ini." Dengan redaksi lain tetapi intinya sama pastinya ditemukan di banyak group WA lainnya. Pendapat tersebut dangkal, gebyah uyah, simplifying the case, ungrounded, hasty conclusion dan karenanya terperangkap dalam logical fallacy. Menyamaratakan semua sub-varian Wahabi-Salafi menjadi tunggal. Terinspirasi Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk kembali pada masa keemasan Islam supaya terhindar dari bid’ah dan sekaligus menolak taqlid, Muhammad bin Wahab (1703-1792), penganut Hanbaliyah, mencetuskan gerakan reformasi untuk pemurnian tauhid Islam yang diberi nama Muwahhidun (الموحدون). Gerakan ini, yang lalu disebut sebagai Wahabi (الوهابية), menolak pemujaan berlebih pada orang suci (kalau di lingkungan kita disebut sebagai kyai, ustadz, ulama' dan atau wali) hinggal ziarah ke makam orang...

Stigmatisasi Cadar Cingkrang Jenggot

Satu lagi stigma pada mereka yang mepraktekkan Cadar, Cingkrang, dan Jenggot. Bahwa mereka adalah anti-NKRI karena tidak berbudaya lokal Indonesia. Mereka yang berpendapat seperti ini berprilaku "saklek" bahkan "thek" dan asal "pokok'e". Mereka menganggap budaya itu fenomena tunggal yang berhenti (sudah mati), tidak pernah berubah oleh waktu dan ruang, dan karenanya tidak berkembang. Maka, untuk mengetahui apakah seseorang itu berbudaya Indonesia atau tidak, tak ubahnya seperti harus pergi ke museum (peninggalan purbakala budaya Indonesia) untuk melihat langsung dan sekaligus mencocokkan apakah seseorang itu berbudaya Indonesia atau tidak. Eh ternyata di museum itu tidak ada peninggalan berupa cadar, cingkrang dan jenggot, lalu kita ramai-ramai menghakimi bahwa cadar, cingkrang, dan jenggot itu bukan Indonesia. Inilah kesalahan awal persepsi tentang budaya. Hallo "saklek" "thek" dan "pokok'e", tak kandani yo, budaya it...

Stigmatisasi radikal

Tanpa sadar kita ikut-ikutan mengecap jelek pada setiap individu atau kelompok Muslim yang memiliki prinsip radikal dalam mempraktekkan Islam. Tidak sedikit dari kita tanpa pengetahuan yang cukup ikut-ikutan mencemoohnya dikarenakan kampanye dari rejim dari hari ke hari menit ke menit bahwa radikal itu "aib" yang harus dihindari. Bahwa radikal itu membahayakan negara. Bahwa keberadaan radikal itu tak ubahnya seperti PKI yang selalu merongrong rejim sah. Mereka yang sadar akan pembodohan issu radikalisme ini lalu berspekulasi bahwa stigmatisasi radikal ini sengaja diciptakan dan digencarkan untuk membungkam sekelompok Muslim (Muslim dari kelompok tertentu) agar tidak kritis lagi pada rejim. Ingatkah kita sejak di bangku sekolah dan apalagi di bangku kuliah, yang di program studi manapun pasti ada mata kuliah Filsafat, bahwa kita diharuskan untuk berpikir secara radikal, yaitu berpikir yang tidak hanya di permukaan saja tetapi sampai ke akar-akarnya supaya permasalahan yang ada...

Stigmatisasi anti-Pancasila

Negeri ini sudah gak karu-karuan karena antar anak bangsa saling stigma. Stigma paling menyakitkan adalah label anti-Pancasila kepada kelompok Muslim yang dianggap melawan kebijakan rejim. Perlawanan yang mereka lakukan itu masih dalam koridor atau aturan main hukum positif dan sistem perpolitikan nasional. Tetapi mereka sengaja dipersekusi atau dibiarkan dipersekusi sebagai anti-Pancasila. Mereka demonstrasi menolak kebijakan pemerintah, salahkah? Ekses demonstrasi terjadi kerusakan, misalnya, tentu bukan demonstrasinya yang salah. Cukup aparat penegak hukum tangani ekses tersebut sesuai hukum yang berlaku tanpa perlu mengkambinghitamkan orang yang menggerakkan demo. Mereka mem-PTUN-kan kebijakan pemerintah yang membubarkan HTI 19 Juli 2017, salahkah? Perppu 2/2017 yang menjadi UU 16/2017 tentang ormas lalu diajukan ke MK untuk diuji, salahkah? Mereka beradab karena mengadu argumen bahwa mereka dirugikan di pengadilan. Ketika pengadilan menyatakan mereka kalah, mereka pun menerimanya....

Stigmatisasi antar kelompok

Stigmatisasi kelompok, mengecap jelek pada kelompok tertentu atau mengecap bahwa kelompok tertentu itu memiliki aib, sedang kita alami dari hari ke hari. Saya kira ini hanya terjadi di level politik pusat kekuasaan di Jakarta. Ternyata telah merambah sampai pada tingkat obrolan grup WA di masyarakat biasa.  Pilpres 2014 memunculkan stigma cebong versus kampret. Cebong adalah sebutan aib untuk pendukung Jokowi, sedangkan kampret untuk pendukung Prabowo. Semua saling serang untuk menunjukkan kejelakan atau keaiban kelompok. Mencapai puncak pada Pilkada Jakarta 2017. Anis-Sandi, yang diserang sebagai kelompok kampret, menang mengalahkan Ahok-Jarot, sebagai kelompok cebong. Puncaknya pada Piplres 2019 ketika Jokowi bertemu kembali Prabowo untuk kedua kalinya.  Begitu tiap hari bahkan menit ke menit kita disuguhi pemberitaan antara kejelekan cebong dan kampret. Apalagi ketika Prabowo menolak untuk kalah oleh quick count, real count dan bahkan oleh MK. Kelompok Prabowo mengerahkan m...

the Dunning Kruger Effect

Ketika anda tidak tau, tetapi berpikir tau segalanya. Believing you know something that you don't!   Ini penyakit karena anda merasa lebih baik dari semua orang atas pengetahuan dan kemampuan yang anda miliki. Padahal sejatinya anda tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan tersebut. Disebut penyakit karena ternyata anda memiliki persepsi yang salah tentang diri anda sendiri. Lha mempersepsikan diri sendiri saja salah, lah apalagi mempersepsikan orang lain! Padahal, semakin kita belajar, semakin kita sadar betapa kecil pengetahuan yang kita miliki. Kita sadar bahwa ada kesenjangan dan kita mungkin tidak berusaha mengisi kesenjangan itu untuk menjadi lebih tahu suatu topik. Ketika kita tidak menyadari ini, kita begitu menderita karena justru ketidaktahuan kita inilah sehingga kita tidak mampu mengetahui bahwa diri kita kekurangan pengetahuan di bidang tertentu. Di sinilah, DKE (the Dunning Kruger Effect) terjadi bahwa ketika ketidakmampuan (incompetence) kita terhadap suatu...

Culture is fluid

Budaya itu tidak tetap, TETAPI selalu cair, selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu, sesuai dengan tuntutan, tekanan dan pengaruh, sesuai dengan pengalaman anggotanya berinteraksi dengan budaya lain.  Jilbab yang pada periode 80-an adalah budaya impor dari Timur Tengah, sejak periode 2000-an telah menjadi budaya kita. Sekarang istri presiden, wakil presiden, para menteri, TNI, POLRI, Gubernur, Bupati bahkan istri dan anak kita telah memakainya. Periode 80-an perempuan memakai celana (apalagi celana jin) itu tidak lazim. Apalagi perempuan mekangkang ketika dibonceng motor. Lambat laun karena tuntutan, periode 2000-an menjadi lazim. Celana jin tentu saja tidak perlu dipertentangkan dengan rok apalagi jarik.  Anak-anak ada yang memanggil orang tuanya dengan sebutan abi/ummi, daddy/mommy tidak perlu dipertentangkan dengan bapak/ibu, ayah/bunda. Anak-anak yang memanggil onti (auntie) tidak perlu dipertentangkan dengan tante, bu lik.  Senin, Selasa, Rebo, Kemis, Jumat, Set...

ACT

 ACT itu secara institusi organisasi yang misinya sangat baik sangat mulia. Sangat gercep menyalurkan bantuan kemanusiaan on the spot saat bencana saat dibutuhkan saat itu pula, saat pihak lain kesusahan bahkan enggan untuk melakukannya mencapai lokasi menuju umat yang membutuhkan. Tidak hanya di negeri sendiri tetapi juga sampai ke negeri lain.  Kesalahan manajemen keuangan seperti uang sumbangan ditilep, gaji manajemen yang terlampau besar tidak wajar, atau menyalurkan dana ke kelompok teroris, ya supaya hukum yang bicara entah pidana atau perdata. Gak perlu lalu dikaitkan dengan organisasi kelompok dan tokoh Islam tertentu yang selama ini dianggap berseberangan. Bukannya nolongin sesama Muslim yang sedang kena musibah, tetapi malah mengolok-olok. Loh sampai kapan sesama Muslim kok seperti ini? Kalaupun gak bisa nolongin, mestinya cukuplah komentar supaya pihak aparat penegak hukum yang menanganinya. Bukan malah ngipas-ngipasi loh kok cabang ACT di kota ini belum ditutup. Bu...